Sabtu, 09 Juni 2012

Haudh (Telaga) Nabi Muhammad saw


Segala puji hanya bagi Allah SWT, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW, dan aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya selain Allah yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi -Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan -Nya.

Amma Ba’du:

Allah swt berfirman:

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus. (QS. Al-Kautsar: 1-3).

Diriwayatkan oleh AL-Bukhari di dalam kitab shahihnya dari Ibnu Abbas RA bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: Al-Kautsar adalah kebaikan yang banyak yang telah dianugrahkan oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW. Abu Bisr berkata: Aku berkata kepada Abu Bisyar, sesungguhnya banyak orang yang mengatakan bahwa Al-Kautsar adalah sebuah sungai di dalam surga?. Abu Sa’id berkata: Sungai yang terdapat di dalam surga itu termsuk salah satu bagian dari kebaikan yang berikan oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW”.[1]

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam kitab shahihnya dari Anas bin Malik bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: Pada saat aku berjalan di dalam surga dan tiba-tiba aku berada di sisi sebuah sungai yang kedua sisinya adalah kubah-kubah permata yang melengkung. Aku bertanya: Apakah ini wahai Jibril? Dia menjawab: Ini adalah al-kautsar yang telah diberikan oleh Allah SWT bagimu dan ternyata tanahnya adalah minyak kasturi yang sangat wangi.[2]

Dan Al-kautsar ini memiliki dua pancuran yang mengalirkan air menuju haudh Nabi Muhammad SAW.  Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab shahihnya dari Abi Dzar RA bahwa pada saat Nabi Muhammad SAW menyebut tentang AL-Haudh beliau bersabda: mengalir padanya dua pancuran dari surga dan barangsiapa yang meminum nya maka dia tidak akan lagi kehausan”.[3]

Di dalam riwayat yang lain Muslim menyebutkan: Terdapat di dalamnya dua pancuran air yang mengalir dari surga salah satunya pancuran yang terbuat dari emas dan yang lain dari perak”.[4]

Dan ketentuan tentang sifat haudh ini disebutkan dalam berbagai riwayat dari banyak shahabat Nabi Muhammad SAW, riwayat-riwayat tersebut sangat masyhur dan banyak bahkan disebutkan dalam berbagai kitab hadits baik riwayat-riwayat yang shahih, hasan, dan pada kitab hadits yang ditulis berdasarkan sanad-sanad dan kitab-kitab sunan. Haudh adalah tempat berkumpulnya air. Imam Nawawi rahimhullah berkata: Ini adalah penegasan bahwa haudh itu benar-benar ada seperti yang tersebut secara zahir (riwayat) sebagaimana ditegaskan sebelumnya dan pada saat sekarang ini dia telah diciptakan Allah SWT”.[5]

Syekh Utsaimin rahimahullah berakata: (Dan Haudh itu ada pada saat sekarang ini)[6] berdasarkan riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Uqbah bin Amir bahwa pada suatu hari Nabi Muhammad SAW keluar lalu shalat untuk mereka yang mati syahid pada perang Uhud, yaitu shalat seperti shalat mayit kemudian beliau mendatangi mimbar dan bersabda:  Sesungguhnya aku akan mendahului kalian, dan aku adalah saksi bagi kalian serta sungguh aku sedang melihat kepada haudhku sekarang ini”.[7]

Dan diriwiyatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah RA bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:  “Dan mimbarku di atas haudhku”.[8]

Oleh karena itulah bisa jadi haudh itu berada di tempat ini namun kita tidak menyaksikannya sebab dia termasuk perkara gaib dan bisa jadi mimbar tersebut akan diletakkan di atas haudh tersebut pada hari kiamat kelak.[9]

Adapun tentang airnya, warnanya lebih putih dari air susu dan rasanya lebih manis dari madu dan baunya lebih harum dari minyak kasturi.

Diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Dzar bahwa pada saat Nabi Muhammad SAW menyebutkan tentang al-haudh beliau bersabda: Airnya lebih putih dari susu dan rasanya lebih manis dari madu”.[10] Di dalam Ashahihaini disebutkan: dan baunya lebih harum dari minyak kasturi”.[11]

Adapun bejana-bejana yang ada padanya bagikan bintang-bintang di langit, dan penjelasan ini didasarkan pada beberapa hadits yang disebutkan di dalam kitab ashahihaini[12] dan di dalam riwayat yang lain disebutkan: “Bejana-bejananya seperti bintang-bintang di langit”.[13]

Ini adalah lafaz yang paling global sebab maskudnya adalah bejana-bejananya seperti bintang-bintang di langit dari sisi jumlahnya, dan dari sisi sifatnya yang bercahaya dan mengkilap. Maka bejana-bejana yang ada padanya sebanyak dan bercahaya seperti bintang-bintang di langit, dan disebutkan di dalam sebagian riwayat yang shahih bahwa ceret-ceret minuman yang terdapat padanya terbuat dari emas dan perak.[14]

Dan luas haudh ini adalah, sepanjang perjalanan satu bulan dan selebar perjalanan satu bulan. Syekh Ibnu Utsaimin berkata:  Hal ini menunjukkan bahwa bentuknya adalah bundar, sebab tidak mungkin dijelaskan dengan penyebutan sisinya seperti yang disebutkan di atas, kecuali jika bentuknya bundar, dan jarak ini seperti yang telah diketahui pada masa Nabi Muhammad SAW yaitu jarak yang diukur dengan kecepatan biasa perjalanan seekor onta[15]disebutkan di dalam ashahihaini bahwa sesungguhnya lebarnya sama dengan jarak antara Amman dan Ailah. Amman adalah sebuah kota di Balqo’ di negeri Syam dan Ailah adalah sebuah negeri di ujung laut Qalzum di ujung negeri Syam, negeri itu telah punah dan selalu dilewati oleh para jama’ah haji dari Mesir[16] Di dalam sebuah riwayat disebutkan: (Jaraknya adalah antara Jarba’ dan Adzrah). Keduanya adalah dua kampung di negeri Syam yang bisa dilalui dengan perjalanan tiga hari[17]. Dan di dalam riwayat yang lain disebutkan: Ukuran haudhku adalah sama seperti ukuran antara kota Ailah dan Shan’a dari Yaman”.[18] Dan di dalam riwayat yang lain disebutkan: Dan jarak antara kedua ujung haudhku adalah sebagaimana jarak antara shan’a dan Madinah”.[19]

Para ulama telah menyebutkan penafsiran tentang perbedaan-perbedaan riwayat yang menjelaskan tentang luas  danpanjang haudh Nabi Muhammad SAW. Di antaranya adalah bahwa Nabi Muhammad SAW diberitahukan tentang jarak yang pendek kemudian diberitahukan kembali tentang jarak yang panjang. Beliau memberitahukan hal itu seakan-akan Allah SWT memberikan anugrah kepada beliau bahwa haudh tersebut meluas sedikit demi sedikit, maka yang menjadi patokan dalam penjelasan ini adalah riwayat yang menjelaskan tentang sifat haudh yang paling panjang dan di dalam penjelasan yang lain disebutkan selain ini.[20]

Dan masa mendatangi haudh adalah sebelum melewati shirat sebab keadaan menuntut hal itu, sebab manusia sangat membutuhkan air minum di hari kiamat sebelum mereka melewati shirat, sebagian ahlul ilmi telah menguatkan penjelasan yang disebutkan ini, dan barangsiapa yang meminum dari haudh maka dia tidak akan pernah kehausan selamanya, berdsarkan apa yang diriwayatkan oleh  Abdullah bin Amru di dalam Ashahihaini:  Dan barangsiapa yang meminum darinya maka dia tidak akan kehausan selamanya”.[21]

Perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kita boleh meminum dari haudh Nabi Muhammad SAW:

Pertama: Berpegang teguh kepada kitab dan sunnah serta konsisten dengannya, menjauhi semua bid’ah dan dosa-dosa besar. Diriwayatkan oleh Al-Hakim di dalam kitab Al-Mustadrok dari Abi Hurairah RA bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: Sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian dua perkara yang mana kalian tidak akan tersesesat, yaitu kitab Allah dan sunnahku, dan dia tidak akan berpisah sehingga dia datang menuju haudh”.[22]

Diriwayatkan oleh Al-Bukahri dan Muslim dari Abi Sa’id Al-Khudri RA bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: Aku akan mendahului kalian di haudh dan barangsiapa yang mendatangiku maka dia akan meminumnya, dan barangsiapa yang meminumnya maka dia tidak akan pernah haus selamanya, akan datang kepadaku sekelomopok kaum di mana mareka mengenalku dan aku pun mengenal mereka namun aku dihalangi dari mereka, lalu aku mengatakan: Sesungguhnya mereka ini dari golonganku, maka dikatakan: Sesungguhnya engkau tidak mengetahui perbuatan-perbuatan bid’ah yang mereka lakukan setelah dirimu meninggal, maka aku berkata:  menjauhlah, menjauhlah orang yang telah merubah din ini setelah kematianku”. Maka Ibnu Abi Mulaikah berkata: Ya Allah aku berlindung kepada -Mu jika kami terusir hina atau terfitnah sehingga jauh dari agama kami”.[23]

Ibnu Abdil Barr berkata: Setiap orang yang membuat-buat perkara baru di dalam agama maka dia termasuk orang-orang yang terusir dari Al-Haudh, seperti kelompok Khawarij, Rafidhah dan seluruh kelompok yang mengikuti hawa nafsu. Dan dia juga berkata: demikian juga orang-orang zalim, yang melampaui batas dalam berbuat kezaliman dan menghapus kebenaran, orang-orang yang dilaknat karena berbuat dosa-dosa besar. Dia berkata: Orang-orang yang seperti ini dikhawatirkan jika merekalah yang dimaksud dengan hadits ini. Allah A’alm.[24]

Kedua: Bersabar terhadap apa yang dialami oleh seorang mu’min berupa kekurangan dari harta dunia, dan dia mendahulukan orang lain dengannya. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik bahwa Nabi Muhammad SAW berkata kepada para shahabatnya dari kalangan Al-Anshor: Kalian akan mendapatkan sepeninggalku orang-orang yang lebih mementingkan duniawi, maka bersabarlah sehingga kalian menemui Allah SWT dan Rasul -Nya di saat berada pada Al-Haudh”.[25]

Ketiga: Menjaga wudhu’. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab shahihnya dari Hudzaifah RA bahwa pada saat Nabi Muhammad SAW menyebut tentang Al-Haudh beliau bersabda: Sungguh yang jiwaku berada di tangan -Nya, aku pasti akan menghalau sekolompok orang dari haudhku sebagaimana seorang lelaki menghalau onta yang bukan miliknya dari kolam tempat ontanya minum. Para shahabat bertanya:  Apakah engkau mengetahui kami pada saat itu?. Maka beliau menjawab: Ya, kalian akan mendatangi aku dengan penuh cahaya di kening kalian karena bekas air wudhu’ dan cahaya itu tidak terdapat pada orang selain dari kalian”.[26]

Ya Allah berikanlah kami minum dari haudh Nabi -Mu, dan jadikanlah kami sebagai pengikut sunnah beliau, ya Allah cucurkanlah kepada kami air minum dari tangan beliau yang mulia, yaitu minuman yang dengannya kami tidak merasakan kehausan selamanya, ya Allah kumpulkankanlah kami dalam kelompok beliau Muhammad SAW, dan jadikanlah kami sebagai pengikut beliau bersama para nabi-nabi, orang-orang yang jujur, para syuhada, dan orang-orang yang shaleh, merekalah sebaik-baik teman bergaul.

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga, shahabat serta seluruh pengikut beliau.

Dr. Amin bin Abdullah asy-Syaqawi
[1] Al-Bukhari: no: 6578

[2] Al-Bukhari di dalam kitab shahihnya: no: 6581

[3] Shahih Muslim: no: 2300

[4] Shahih Muslim: no: 2301

[5] Syarah shahih Muslim: 5/59

[6] Syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyah: 2/157

[7] Al-Bukhari: 6590 dan Muslim: 2296

[8] Al-Bukhari: 6588 dan Muslim: 1391

[9] Syarhul Aqidah Al-Wasithiyah: 2/157

[10] Muslim: no: 2301

[11] Al-Bukhari: 6579 dan Muslim: 2292

[12] Al-Bukhari: 6580 dan Muslim: 2303

[13] Al-Bukhari: 6579 dan Muslim: 2292

[14] Shahih Muslim: 2303

[15] Syarhul Aqidah Al-Wasithiyah: 2/159

[16] Shahih Muslim: 2300

[17] Al-Bukhari: 6577 dan Muslim: 2299

[18] Al-Bukhari: 6580 dan Muslim: 2303

[19] Al-Bukhari: 6591 dan Muslim: 2298

[20] Lihat: Fathul Bari: 11/472

[21] Al-Bukhari: 6579 dan Muslim: 2292

[22] Al-Mustadrok: 1/172 no: 319 dan dishahihkan oleh Al-Hakim

[23] Al-Bukhari: 6593,6583-6584 dan Muslim: 2290

[24] Syarah shahih Muslim: 1/137

[25] Al-Bukhari: 3792 dan Muslim: 1854

[26] Muslim: no: 248

Al-Qur’an Di Hati Seorang Muslim


Ada beberapa pertanyaan yang selalu menggelayuti hati ketika melihat kondisi kaum muslimin. Pertanyaan itu sebagai berikut :

Bukankan Allah itu Maha Penyayang dan sangat menyayangi umat beriman ?.

Bukankan Allah itu Maha berkuasa dan mampu menjayakan kaum muslimin ?.

Bukankan Al Qur’an yang kita baca dalam shalat kita adalah sumber kebahagiaan, kejayaan, kemakmuran bagi yang mengamalkannya ?.

Bukankah kaum muslimin itu umat terbaik yang diutus untuk memimpin, bukan dipimpin umat lain, mendidik bukan dididik umat lain ?.

Bukankah umat Islam dijadikan Allah sebagai umat yang satu ?.

Lalu kalau kita ingin memproyeksikan hakekat di atas dengan kondisi kaum muslimin pada masa kini, maka hasilnya akan menuntut kita untuk lebih merenung, dimana kejayaan kaum muslimin ?, dimana harga diri kaum muslimin, bahkan dimana harga darah seorang muslim di mata kaum muslimin sendiri ?, dimana kepemimpinan, kejayaan kaum muslimin diatas kaum yang lainnya ?, dimana solidaritas sesama kaum muslimin ? dalam skala nasional maupun internasional .

Kemudian saya membaca ayat ini :

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ (الحديد:16)

"Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik" ( QS. Al-Hadiid: 16)

Dan merenungi rintihan Rasulullah kepada Robbnya dengan mengatakan :

)وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُوراً) (الفرقان:30)

"Berkatalah Rasul: wahai Robbku sungguh kaumku telah menjadikan Alquran ini sesuatu yang ditinggalkan”. QS. Al-Furqaan: 30

Ditinggalkan karena mereka tak membacanya, atau tidak mau merenungi maknanya atau tidak mau mengamalkan isinya.

Yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan diatas adalah kita bersama merenungi sambutan Rasulullah dan  para   sahabat   terhadap   Al Qur’an   dan   bagaimana kedudukan Al Qur’an dihati mereka.

Bagaimana Al Qur’an di hati Rasulallah dan para sahabat ?

Pertama : para sahabat memandang kebesaran Al Quran dari kebesaran yang menurunkannya, kesempurnaannya dari kesempurnaan yang menurunkannya, mereka memandang bahwa Al Qur’an turun dari Raja, Pemelihara, Sesembahan yang Maha Perkasa, Maha Mengetaui, Maha Kasih Sayang, sebagaimana ditekankan oleh Allah dalam berbagai permulaan surat :

} تنـزيل الكتاب من الله العزيز الحكيم{  سورة الزمر، الجاثية، الأحقاف،  }تنـزيل الكتاب من الله العزيز العليم  { سورة  المؤمن،  } تنـزيل من الرحمن الرحيم{ سورة فصلت } كذلك يوحي إليك وإلى الذين من قبلك الله العزيز الحكيم ،له ما في السموات وما في الأرض وهو العلي العظيم  { سورة الشورى

Dari pandangan ini mereka menerima Al Qur’an dengan perasaan bahagia campur perasaan hormat, siap melaksanakan perintah dan perasaan cemas dan harapan, serta perasaan kerinduan yang amat dalam, bagaimana tidak ?, karena orang yang membaca Al Qur’an berarti seakan mendapat kehormatan bermunajat dengan Allah, sekaligus seperti seorang prajurit yang menerima perintah dari atasan dan seorang yang mencari pembimbing mendapat pengarahan dari Dzat yang maha mengetahui. Dan perasaan inilah yang digambarkan oleh Allah dalam Firmannya :

} أولئك الذين أنعم الله عليهم من النبيين من ذرية آدم وممن حملنا مع نوح ومن ذرية إبراهيم وإسرائيل وممن هدينا واجتبينا إذا تتلى عليهم آيات الرحمن خروا سجدا وبكياً{ (سورة مريم الآية : 58 )

"Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis" (QS. Maryam: 58)


} إن الذين أوتوا العلم من قبله إذا يتلى عليهم يخرون للأذقان سجداً ويقولون سبحان ربنا إن كان وعد ربنا لمفعولاً ويخرون للأذقان ويزيدهم خشوعاً {  (سورة الإسراء: 107-109)

"Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi"(108) Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu' " ( QS. Al-Israa: 107-109)

Perasaan diatas  menyebabkan Umu Aiman menangis ketika teringat akan wafatnya Rasulullah. Suatu saat Abu Bakar dan Umar berkunjung kepada ibu asuh Rasulallah, Ummu Aiman dan ketika mereka duduk, menagislah Ummu Aiman karena teringat wafatnya Rasulallah, maka berkatalah Abu Bakar  dan  Umar, “Kenapa anda menangis sementara Rasulullah mendapatkan tempat yang mulia” ? Ummu Aiman menjawab, "Saya menangis bukan karena meninggalnya beliau melainkan karena  terputusnya wahyu Allah yang datang kepada beliau pada pagi dan petang hari", maka saat itu pula meledaklah tangisan mereka bertiga .

Dari perasaan diatas para sahabat membaca dan menerima Al Qur’an untuk dilaksanakan secara spontan tanpa menunggu-nunggu dan tanpa protes sedikitpun, walau-pun hal itu bertentangan dengan kebiasaan mereka, tapi mereka bisa menundukkan perasaan mereka dengan kecintaan kepada Allah.

Ketika turun perintah untuk memakai jilbab pada surat Al Ahzab : 59, malam hari Rasulallah menyampaikan ayat itu kepada para sahabat, pagi harinya para istri sahabat sudah memakai jilbab semua, bahkan `Aisyah mengatakan, "Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshor, mereka diperintah untuk memakai hijab pada malam hari sementara pada  paginya mereka sudah memakainya, bahkan ada yang merobek kelambu mereka untuk dijadikan jilbab".

Ketika diharamkannya khomer dan ayat itu sampai kepada mereka, saat itu juga langsung mereka membuang simpanan khomernya dan menuang apa yang masih berada pada tangannya.

Salah satu rahasia keajaiban para sahabat dalam berinteraksi dengan Al Qur’an adalah keimanan mereka kepada Allah, surga dan neraka-Nya, juga kepada janji-Nya, sehingga mereka melakukan sesuatu yang apabila dilihat oleh orang yang tak/tidak memahami latar belakang ini akan sulit menafsirkannya.

Seperti ketika mereka membaca tentang janji Allah buat orang-orang yang berjihad karena cinta kepada Allah, seorang sahabat yang bernama Umair bin Hamam sedang makan korma bertanya: wahai Rasulullah, “Dimana saya kalau saya mati dalam perang ini ? Rasululloh menjawab "Di sorga", berkatalah Umair : "Sungguh menunggu waktu masuk surga sampai  menghabiskan makan kurma tujuh biji ini adalah sangat lama”, dan akhirnya dibuanglah sisa kurma yang belum dimakan dan langsung memasuki pertempuran sampai menemui syahidnya.

Kondisi keimanan yang tinggi ini menjadi episode kehidupan mereka untuk menjadi bagian dari yang diceritakan oleh Allah dalam Al Qur’an, Hal itu seperti perhatian orang-orang Anshor terhadap orang-orang muhajirin atau perhatian mereka terhadap orang-orang yang lemah, seperti yang Allah ceritakan dalam surat Al Hasyr dimana Rasulullah kedatangan tamu dan beliau tidak memiliki sesuatu untuk menjamunya, akhirnya beliau tawarkan hal itu kepada sahabatnya, siapa yang bersedia membawa tamu beliau, dengan sepontan salah satu sahabat bersedia, tetapi ketika sampai rumah ternyata istrinya bilang bahwa tidak ada persediaan makanan kecuali makan malam anaknya, maka sahabat tadi memerintahkan istrinya agar mengeluarkan makanan tadi untuk tamunya dan mengeluarkan dua piring kemudian segera mematikan lampu ketika tamunya sedang makan, tamunya makan dan tuan rumah menampakkan seakan-akan ikut makan bersama, agar dia bisa makan dengan enak,  ketika sampai pagi hari sahabat tadi bertemu dengan rasul dan beliau bilang kalau Allah heran dengan apa dia lakukan, maka turunlah firman Allah ayat kesembilan dari surat al Hasyr.

Kedua : Rasulullah dan para sahabat memandang Al Qur’an sebagai obat bagi segala penyakit hati dan ketika mereka membaca Al Quran yang berbicara tentang segala kelemahan hati, penyakit hati, mereka tidaklah merasa tersinggung bahkan mereka berusaha mengoreksi hati mereka dan membersihkan segala sifat yang dicela oleh Al Qur’an serta berusaha untuk bertaubat dari apa yang dikatakan buruk oleh Al Qur’an .

Maka sudah pantaslah ketika Al Qur’an banyak menceritakan sifat-sifat munafiqin mulai dari malas shalat, sedikit berdzikir, pengecut, mengambil orang kafir sebagai pemimpin dan lain-lainnya, para sahabat segera mengkoreksi hati mereka dan mencari obatnya, walaupun mereka tidak dihinggapi penyakit itu, berkatalah Abdullah ibnu Mulaikah :

أدركت سبعين من أصحاب محمد e كلهم يخافون من النفاق.

“Aku mendapatkan tujuh puluh dari sahabat nabi, mereka semua takut kalau terkena penyakit nifaq”.

Ketika sahabat Handholah merasa adanya fluktuasi keimanan, maka segeralah ia datang kepada Rasulallah dengan mengatakan “Ya Rasulallah nifaqlah Handholah”, berkatalah Rasul Allah : "Kenapa ?" Handlolah menjawab:  “Wahai Rasul Allah kalau saya sedang berada disamping engkau dan engkau ingatkan kami dengan sorga dan neraka, jadilah sorga dan neraka seakan-akan jelas dimata kami, tapi jika kami pulang dan bergaul dengan anak istri serta sibuk dengan harta kami, kami banyak lupa, bersabdalah Rasulallah, “Wahai Handholah kalau kalian berada dalam kondisi seperti itu  (seakan melihat sorga dan neraka) terus menerus pastilah para malaikat menyalami kalian dijalan-jalan kalian”.


Dari sensitifitas perasaan Handholah dalam berinteraksi dengan Al Qur’an, ia bisa mengalahkan perasaan ingin dekat dengan istrinya pada malam pertama dan ditinggalkannya untuk berjihad sampai syahid, padahal ia belum sempat mandi junub, sehingga Rasulullah bersabda bahwa ia dimandikan oleh para malaikat .


Ketiga : Para sahabat memandang bahwa Al Qur’an adalah nasehat dari Dzat yang amat sayang dengan mereka yang sangat perlu didengar, yang berarti bahwa mereka sangat menyadari kalau mereka bisa salah, tapi akan segera kembali kepada kebenaran manakala ada teguran dari Al Qur’an.

Ma’qil bin Yasar pernah menikahkan adik perempuannya dengan salah seorang sahabat, tapi kemudian di cerainya sampai habis masa iddahnya, kemudian bekas suami tadi melamar lagi dan karena Ma’qil sedang marah beliau tolak  lamarannya dan bertekad untuk tidak menikahkan kembali keduanya, padahal adiknya juga masih cinta dengan bekas suaminya serta ingin kembali kepadanya. Dengan kejadian ini Allah menurunkan ayat :

)وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ) (البقرة:232)

"Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui" QS. Al-Baqarah: 232

Setelah turun ayat ini Ma’qil langsung menikahkan adiknya lagi dengan sahabat mantan suamiya .

Sahabat hidup dengan misi, “Risalah menyelamat-kan seluruh manusia dari perbudakan manusia untuk manusia menuju penghambaan Allah yang Esa dan mengeluarkan mereka dari kedhaliman sistim manusia menuju keadilan Islam dari kesempitan dunia menuju keluasan dunia dan akherat”, dan pastilah kaum yang membawa misi demikian ada pendukung dan musuhnya, maka mereka menjadikan Al Qur’an sebagai pembimbing untuk mengetahui musuh-musuh Allah, dan musuh mereka, siapa wali-wali mereka dan wali-wali Allah dan mereka memperlakukan manusia sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Allah, mereka cinta terhadap ayah, anak,  istri, serta kerabat mereka. Tetapi jika yang dicintai itu memusuhi Allah dan Rasul-Nya serta membenci Islam, maka mereka segera merubah sikapnya dengan hanya memihak Allah dan mencabut perasaan cintanya kepada selain Allah, Allah berfirman :

}لا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْأِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ) (المجادلة:22)

." Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung" QS. Al-Mujaadilah: 22

Ayat ini turun berkenaan ketika Abu Ubidah bin Jaroh membunuh ayahnya di perang Badar, karena ayahnya bersama pasukan kuffar Quraisy .

Keempat : Para sahabat memandang bahwa seluruh alam semesta dan diri mereka adalah ciptaan Allah dan tidak mungkin membudidayakan alam semesta serta mengatur mereka kecuali Dzat yang menciptakannya, sehingga mereka meyakini bahwa keimannya menuntut untuk menjadikan Al Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya,  mereka menjadikan Al Quran sebagai way Of live –pedoman hidup- mereka dan sangat sensitif terhadap usaha-usaha yang akan memisahkan satu bagian sistim Islam dengan bagian yang lainnya.

Pantaslah kalau Kholifah Abu Bakar berpidato ketika banyak orang yang murtad dan tidak mau membayar zakat, dengan mengatakan :

أينقص الدين وأنا حي !! والله لو منعوني عقالاً كانوا يؤدونه إلى رسول الله e لقاتلتهم على منعه رواه مسلم .

“Apakah agama ini akan dikurangi padahal saya masih hidup, demi Allah kalau mereka menghalangi tali yang mereka serahkan kepada Rasulallah pastilah aku perangi mereka atas keengganannya”.


Mereka menyadari betul adanya perbedaan antara orang yang belum mampu melaksanakan, dengan orang yang sengaja memilih-milih apa yang mau dilakukan dan apa yang ditolak.

Yang pertama masih dalam ruang lingkup iman seperti Raja Habsyi yang dishalati ghoib oleh Rasulallah, padahal ia belum melaksanakan hukum Islam, karena belum mampu. Adapun yang sengaja pilih-pilih seperti memilih beras, mereka mencap orang tersebut  sudah keluar dari Islam atau munafiqin, sebagaimana yang Allah firmankan :

} أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ{ (البقرة: من الآية85)


“Apakah kalian beriman dengan sebagian kitab dan kafir terhadap sebagian yang lain? Tidaklah balasan orang yang melakukan demikian kecuali kehinaan didunia dan dihari qiamat mereka dikembalikan ke adzab yang sangat keras. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” QS. Al-Baqarah: 85


Keuniversalan dan keintegralan Al Qur’an ini digambarkan oleh sahabat Ali bin Abi Tholib dalam ucapannya :

هو كتاب الله فيه نبأ من قبلكم ،وخبر ما بعدكم وحكم ما بينكم هو الفصل ليس بالهزل من تركه من جبار قصمه الله ومن ابتغى الهدى في غيره أضله الله وهو حبل الله المتين وهو الذكر الحكيم وهو الصراط المستقيم وهو الذي لا تزيغ به الأهواء، ولا تلتبس به الألسنة ولا يشبع منه العلماء ولا يخلق عن كثرة الردّ ولا تنقضي عجائبه وهو الذي لم تنته الجن إذا سمعته حتى قالوا  } إنا سمعنا قرآناً عجباً،  يهدى إلى الرشد فآمنا به  { من قال به صدق ومن عمل به أجر ومن حكم به عدل ومن دعا إليه هدي إلى صراط مستقيم .

“Dia adalah Kitabullah yang di dalamnya ada berita orang sebelum kalian, kabar apa yang terjadi setelah kalian, hukum diantara kalian, dia adalah keputusan yang serius bukan main-main, barang siapa meninggalkannya dengan kesombongan pasti dihancurkan oleh Allah , barang siapa mencari petunjuk dari selainnya akan disesatkan oleh Allah, dialah tali Allah yang kokoh, dialah peringatan yang bijaksana, dialah jalan yang lurus, dialah yang dengannya hawa nafsu tidak menyeleweng, dan tidak akan rancu dengannya lisan, dan tidak kenyang-kenyangnya dari (membacanya, mempelajarinya) para ulama, tak akan usang karena diulang-ulang, dan tak habis-habis keajaibannya, dan dialah yang jin tak henti-hentinya dari mendengarnya sehingga dia mengatakan; “Sungguh kami mendengar Al- Qur’an yang penuh keajaiban, menunjukkan ke jalan lurus, maka kami beriman dengannya", barang siapa yang berkata dengannya pasti benar, barang siapa beramal dengannya pasti diberi pahala, barang siapa menghukumi dengannya pastilah adil, barang siapa mengajak kepadanya pasti di tunjuki kejalan yang lurus.

Kelima : Para sahabat memandang bahwa Al Qur`an adalah kasih sayang dari Allah, mereka melihat bahwa seluruh isi Al Quran, baik itu aqidah, hukum, perintah, larangan serta berita–beritanya hanyalah untuk kebaikan manusia, maka mereka menerimanya dengan senang hati, adapun yang menolak hukum Islam pada dasarnya adalah lebih memihak kepada para pemeras orang lemah dari pada memihak orang yang diperas, lebih sayang dengan para pembunuh dari pada yang dibunuh atau lebih memihak para penggarong dan pemerkosa dari pada yang di garong dan diperkosa, lebih memihak musuh Allah dari pada memihak Allah, dan  secara implisit menuduh Allah keras dan dholim, orang yang semacam ini perlu intropeksi akan hakekat keimanannya.

Sedangkan para sahabat memahami hal tersebut di atas sebagaimana memahami wajibnya puasa dari firman Allah :

" كتب عليكم الصيام "

"Telah diwajibkan bagi kalian untuk berpuasa" QS. Al-Baqarah

Mereka juga memahami wajibnya  jihad,  menegakkan qishos, mengamalkan wasiyat dengan firman Allah :

}كتب عليكم القصاص{ }كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت  {  }كتب عليكم القتال{ سورة البقرة

"Telah diwajibkan bagi kalian hukum qishash" "Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut" "Diwajibkan bagi kalian untuk berperang" QS. Al-Baqarah

Para sahabat menjadikan Al Qur’an sebagai penerang hakekat hidup, dari Al Qur’an mereka mengetahui bahwa dunia ini hanya seperti tanaman di ladang yang hijau kemudian menguning dan hancur, maka mereka sangat zuhud dengan dunia, mereka mengetahui dari Al Qur’an bahwa rizqi, umur sudah ditentukan oleh Allah dan tidak akan berkurang karena perjuangan, maka mereka terus berjuang dan berjihad tanpa takut mati dan tidak pula takut kehilangan harta, mereka mengetahui bahwa mereka diciptakan dalam kondisi bertingkat-tingkat dalam hal ekonomi, kecerdasan dan kekuatan fisik untuk menguji mereka akan tugas yang mereka pikul, maka ketika mereka menjadi para gubernur dan kholifah mereka melihat itu semua sebagai tugas bukan suatu kehormatan, apalagi ketika mereka mendengar Rasulallah bersabda seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori-Muslim :

" ما من عبد يسترعيه الله رعية فلم يحطها بنصيحة إلا لم يجدها رائحة الجنة "  (متفق عليه )

“Tidaklah ada seorang hamba yang dijadikan Allah memimpin rakyat kemudian tidak serius dalam memikirkan kemaslahatannya kecuali tidak akan mencium baunya sorga” HR. Muttafaq 'alaih.


" ما من وال يلي رعية من المسلمين فيموت وهو غاش لهم إلا حرم الله عليه الجنة " ( متفق عليه )

“Tidaklah ada seorang wali (pemimpin) rakyat dari kaum muslimin kemudian mati dalam kondisi curang terhadap mereka kecuali Allah haramkan atas dia sorga” HR. Muttafaq 'alaihi.

Para sahabat ketika mendengar hadits ini mereka langsung bersungguh-sungguh dalam memikirkan nasib rakyatnya, sangat berhati hati dalam mengelola harta rakyat sampai Kholifah Umar mengatakan, “Saya menempatkan diri saya dengan baitul mal ini seperti wali yatim dengan harta anak yatim, kalau kaya tidak makan sama sekali darinya dan kalau miskin makan secukupnya”, dan pantaslah Umar dalam musim kelaparan ikut merasakan dan ikut terdengar keroncongan perutnya, beliau mengatakan kepada perutnya :

قرقري أو لا تقرقري فإنك لن تشبعي حتى يشبع المسلمون .

“Silahkan perutku engkau keroncongan atau tidak keroncongan, engkau tak akan kenyang kecuali kalau seluruh kaum muslimin sudah kenyang”.

Dan itu semua dikarenakan para sahabat diberi keimanan sebelum menerima Al Quran sehingga mereka selalu membacanya siang dan malam dan memiliki waktu mingguan dan bulanan dalam menghatamkan bacaan Al-Qur’an, mereka tidak pernah merasa kenyang dari membaca Al Qur’an dan mentadaburinya sebagaimana Allah ceritakan kondisi mereka :

" الذين آتيناهم الكتاب يتلونه حق تلاوته أولئك يؤمنون به "

“Orang-orang yang Kami berikan kitab, mereka membacanya dengan sebenar-benar bacaan mereka itulah orang yang benar–benar beriman dengannya”.


" أمن هو قانت آناء الليل ساجدا وقائما يحذر الآخرة ويرجو رحمة ربه قل هل يستوى الذين لا يعلمون والذين لا يعلمون إنما يتذكر أو لو الألباب . سورة الزمر : الآية :9

(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran" (QS. Az-Zumar: 9).


Mereka tidak hanya mencukupkan diri dengan membaca, akan tetapi tapi mereka mentadabburinya sehingga diantara mereka ada yang mengulang-ulang satu ayat dalam shalatnya sampai fajar.

Terakhir, mereka melihat Al Quran sebagai sesuatu yang mengorbit kepada tauhid yang isinya berkisar :

أ -  التوحيد : معرفة الله توحيده وجلاله، عظمته، ورحمته، وقربه من عبادة .

A : Tauhid: Mengetahui Allah bahwa Dia adalah yang Maha Esa, Agung, Mulia, Pemberi Rahmat dan dekat dengan hamba-Nya.

ب -  آيات التوحيد و قدرة الله .

B : Bukti-bukti ketauhid-an dan kekuasan Allah .

ج - حقوق التوحيد : الأوامر والنواهي وإخلاص العبادة, جعل                                      الحكم له خالصاً .

C : Hak tauhid yaitu perintah untuk dijalankan, larangan untuk ditinggalkan, ibadah untuk ditunaikan, ikhlas dalam beribadah dan menjadikan hukum ditegakkan hanya untuk Allah, karena Allah telah menegaskan bahwa hukum hanya milik Allah dan kalau menyembah Allah haruslah menjadikan hukumnya sebagai aturan  kehidupan dan itu sarat agar agama seseorang menjadi agama yang lurus :

" إن الحكم إلا لله أمر ألا تعبدوا إلا إياه ذلك الدين القيم "

“Hukum itu milik Allah dan tidaklah kalian diperintah kecuali untuk menyembah kepada-Nya, dan itulah agama yang lurus”.


د -  جزاء التوحيد : ثواب الموحدين من الرفعة في الدنياً والتمكين والبركة في الحياة، والأمن،  والعزة، ودخول الجنة، والنصر على الأعداء، وعقوبة المشركين والكافرين والمنافقين من الهوان في الدنيا والضنق في الحياة والعذاب الدائم في الآخرة .

D : Balasan yang didapat dari bertauhid yang berupa pahala buat ahli tauhid dari ketinggian  didunia, stabilitas kedudukan, keberkahan hidup, keamanan, kejayaan, masuk sorga, dan kemenangan terhadap musuh. juga hukuman terhadap orang musyrikin, kafirin dan munafiqin dari kehinaan didunia, kesempitan dalam kehidupan dan adzab yang kekal di akherat.


هـ -  مواصفات الموحدين : من التواضع للحق، حسن الخلق، الاستعداد للتضحيات، الوفاء بعهد الله والناس،  الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر،  ودعوة الناس للخير .

E : Kriteria muwahhidin (ahli tauhid) seperti tawadhu’ terhadap kebenaran, akhlaq yang baik, kesiapan untuk berkorban, setia dengan janji, amar ma’ruf dan nahi mungkar, serta mengajak manusia kepada kebaikan.

و -  المفاهيم المعينة على الاستقامة من بيان حقيقة الدنيا وأنها متاع الغرور، ومحدودية عمر الإنسان، وصعوبة سكرات الموت .

F : Pemahaman-pemahaman yang membantu ahli tauhid untuk bisa istiqamah dalam iman seperti keterangan akan hakekat dunia dan bahwasanya dia itu kesenangan yang menipu, dan bahwa umur manusia itu sangat terbatas dan menghadapi sakaratul maut  adalah sebuah kesulitan yang akan dihadapi oleh setiap manusia.

Terakhir sebagai penutup, itulah sifat dan interaksi para sahabat terhadap Al Qur’an dan semoga kita bisa mencontoh mereka, mereka telah bersusah payah untuk kebahagiaan kita, rasa lelah sudah hilang, mereka telah bahagia untuk selama-lamanya dan didunia sejak zaman mereka sampai hari qiamat selalu dikenang dan didoakan oleh orang yang datang setelah mereka, alangkah bahagianya mereka.

اللهم إنا نسألك بعزتك التى لا ترام وبملكك الذى لا يضام وبنورك الذى ملاء أركان عرشك أت تملأ قلوبنا بالإيمان وأن تهدى قلوبنا للإسلام وأن تجعلنا ممن يحبك ويحب دينك أكثر من محبته لنفسه، وأن ترينا الحق حقاً وأن ترزقنا اتباعه وأن ترينا الباطل باطلاً وأن ترزقنا اجتنابه إنك سميع الدعاء وصل اللهم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين .

oleh: Muh.Mu’inudinillah Basri, MA

Agar Ibadah Puasa Lebih Bermakna


Bulan Ramadhan merupakan bulan nan pernuh berkah; Ramadhan menjadi penghulu segala bulan dalam hitungan tahun Hijriyah, tahunnya umat Islam. Ramadhan adalah bulan shiyam (puasa), dan dia juga bulan qiyam (shalat malam).

1 - Keutamaan Bulan Ramadhan

Hadits-hadits yang mengupas keutamaan bulan nan agung ini, cukup banyak dan bercorak ragam. Cukup kita petik beberapa di antaranya, sebagai penambah muatan motivasi yang mengangkat gairah imani kita untuk memasuki bulan Ramadhan yang akan datang menjelang, dengan penuh harap akan ampunan dan karunia-Nya.

Dari Ubadah bin Shamit bahwasanya Rasulullah (sallallaahu alayhi wa salam) bersabda, yang artinya:

"Telah datang kepadamu Bulan Ramadhan, bulan nan penuh berkah. Di bulan itu Allah akan menaungimu; menurunkan rahmat dan menghapus dosa-dosa, mengabulkan doa dan memperhatikan bagaimana kamu sekalian saling berlomba-lomba (dalam kebaikan) pada bulan itu. Allah pun membanggakan dirimu di hadapan para malaikat-Nya. Maka perlihatkanlah (wahai kaum Muslimin) segala kebaikan pada dirimu. Sesungguhnya orang yang celaka adalah orang yang kehilangan rahmat Allah." (Diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani).

Hadits yang lain:

"Telah dianugerahkan kepada ummatku pada bulan Ramadhan lima karunia yang tidak pernah diberikan kepada ummat manapun sebelum mereka:

Aroma mulut orang yang berpuasa, disisi Allah, lebih harum semerbak ketimbang bau kesturi. Para malaikat memohonkan bagi mereka ampunan hingga waktu berbuka. Setiap hari di bulan itu, Allah menghiasi Jannah-Nya seraya berfirman kepada sang Jannah:

"Tak lama lagi, para hamba-Ku yang shalih akan dibebaskan dari beban dan kesusahan, lalu beranjak menemuimu."

Di bulan itu, para jin pembangkang dibelenggu; mereka tak dapat bebas berbuat, seperti pada bulan-bulan yang lain. Lalu, Allah mengampuni dosa- dosa mereka pada malam terakhir.

Ada sahabat yang bertanya: "Ya RasulAllah, apakah malam terakhir itu, malam Lailatul Qadar?".

Beliau menjawab:

"Bukan, karena orang yang beramal akan mendapati ganjarannya, bila ia telah selesai menunaikannya." [1]

Ada beberapa hadits lain yang senada dengan itu.  Dua hadits di atas, dan banyak lagi yang lainnya meliputi beberapa kesimpulan:

1.  Allah telah memberkahi bulan Ramadhan ini sebagai bulan pengampunan atas segala dosa, bagi orang yang memenuhi bulan ini dengan beragam ibadah; tetapi tidak untuk dosa-dosa besar.

Nabi (sallallaahu alayhi wa salam) bersabda:  "Barangsiapa yang beribadah pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan introspeksi diri, akan Allah ampuni dosa-dosanya yang terdahulu." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dan Salman Al-Farisi, bahwasanya Rasulullah (sallallaahu alayhi wa salam) bersabda:  "Antara shalat-shalat lima waktu; antara Jum'at dengan Jum'at; dan antara Ramadhan yang satu dengan ramadhan berikutnya; ada pengampunan dosa, bagi mereka yang menghindari dosa-dosa besar."[2]

Dosa-dosa besar hanyalah diampuni, lewat taubat tersendiri yang dilakukan seorang hamba dengan penuh penyesalan di hadapan Allah. Hanya saja sebagian ulama, di antaranya Ibnu Taimiyyah, Imam Nawawi dan lain-lain menegaskan; bahwa Ibadah Ramadhan, berikut shaum dan shalat malamnya, bila dilakukan dengan penuh keikhlasan berarti sudah mencakup taubat itu sendiri. Dan itulah yang menjadi tujuan puasa, bahkan seluruh ibadah seperti tertera dalam al-Qur'an adalah: Agar kamu sekalian bertakwa.

2.  Termasuk keberkahan bulan suci Ramadhan adalah sempitnya ruang gerak setan itu untuk melancarkan godaan dan tipu dayanya terhadap bani Adam.

Terbelenggunya mereka, adalah dengan kehendak Allah dan dalam pengertian yang sesungguhnya. Namun juga tidak berarti mereka berhenti menggoda manusia secara total, seperti tersebut dalam hadits di atas.

3.  Dihiasinya Jannah untuk menyambut kedatangan orang-orang yang berpuasa, seusai menjalani cobaan Allah selama masa hidup di dunia. Ini salah satu bentuk Tabsyir atau kabar gembira dari Allah.

4.  Keberkahan bulan Ramadhan juga terungkap jelas, dengan adanya para malaikat yang memohonkan ampunan kepada Allah bagi mereka yang berpuasa. Di samping aroma mulut orang yang berpuasa yang secara lahir mungkin tidak sedap di sisi Allah lebih wangi dibanding aroma kesturi.



2 - Berbagai Keutamaan Lain
Sebagai Muslim yang mengharap keutamaan dan ampunan, di mana dia juga tak lepas dari noda dan dosa, maka noda dan dosa itu dapat terkurangi bahkan terhapus lewat ibadah di bulan Ramadhan. Segala bentuk ragam ibadah di bulan ini harus semaksimal mungkin kita mefaatkan di antaranya:

1.  Memperbanyak Shadaqah

Imam Tirmidzi meriwayatkan:  Rasulullah (sallallaahu alayhi wa salam) pernah ditanya: "Sedekah apakah yang paling utama?" Beliau (sallallaahu alayhi wa salam) menjawab: "Seutama-utamanya sedekah adalah sedekah di bulan Ramadhan." [3]

Nabi (sallallaahu alayhi wa salam) adalah orang yang gemar bersedekah. Kegemarannya bersedekah, menjadi semakin meningkat di bulan Ramadhan.  Salah seorang sahabat telah berkata: "Sesungguhnya Rasulullah itu lebih pemurah, dibandingkan dengan angin yang berhembus. Dan terutama lagi di bulan Ramadhan." [4]

2.  Shalat malam berjama’ah

Dari Abu Dzar, bahwasanya beliau menuturkan:

"Dahulu ketika kami melakukan shaum/puasa, Rasulullah (sallallaahu alayhi wa salam) tidak pernah shalat (malam) berjama'ah bersama kami hingga bulan Ramadhan hanya tersisa tujuh hari lagi. Lalu beliau shalat bersama kami hingga akhir sepertiga malam pertama. Pada malam yang ke dua puluh enam, beliau tak lagi shalat bersama kami. Namun pada malam ke dua puluh lima (satu malam sebelumnya), beliau sempat shalat bersama hingga pertengahan malam. Lalu kami bertanya:  "Ya Rasulallah, apakah tidak engkau sisakan sebagian malam agar kami menambah shalat sendiri?"

Maka beliau bersabda: "Barangsiapa yang shalat (malam) bersama imam hingga selesai shalatnya, akan dituliskan baginya (pahala) shalat semalam untuknya." [5]

Hadits tersebut umumnya digunakan oleh para ulama untuk menetapkan disyari'atkannya shalat malam berjama'ah (tarawih) pada bulan Ramadhan. Namun hadits tersebut juga secara lebih khusus menyiratkan keutamaan shalat malam berjama'ah di bulan Ramadhan itu. Meskipun secara umum, juga berlaku untuk setiap shalat jama'ah, baik yang fardhu maupun yang mustahab.

Syaikh Nashiruddin al-Albani menegaskan:  Sabda beliau (sallallaahu alayhi wa salam)  : "Barangsiapa yang shalat (malam) bersama imam", itu jelas menunjukkan keutamaan shalat malam Ramadhan berjama'ah.

Hal itu dikuatkan, dengan riwayat dari imam Abu Dawud dalam "Al-Masail" hal. 62:

Saya pernah mendengar Imam Ahmad ditanya:  "Mana yang lebih menarik hatimu, orang yang shalat berjama'ah atau shalat sendiri?"  Beliau menjawab: "Tentu saja orang yang shalat berjama'ah."

Beliau juga pernah ditanya:  "Bagaimana kalau orang yang shalat sendiri itu mengakhirkan shalat hingga akhir malam (pada waktu yang paling utama)?" Beliau menanggapi: "Sunnah kaum Muslimin tetap lebih aku sukai." [6]

3.  Memperbanyak amalan akhirat

Bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, adalah ladang subur untuk menebarkan beragam amal shalih untuk dituai hasilnya di akhirat nanti. Dan mulai membaca al-Qur'an, memberi makan orang miskin atau memberinya sekedar makanan untuk berbuka puasa, berdoa, beristigfar, mempererat hubungan silaturrahmi dan lain-lain.

Banyak kaum Muslimin yang secara tradisi, memenuhi bulan suci ini dengan bekerja di luar kebiasaan; demi untuk merayakan 'Iedul fitri dengan mewah penuh kegemerlapan, bahkan terkesan dipaksa-paksakan; itu jelas merugikan.

Di ladang pahala, kita justru menanam amalan duniawi yang lebih banyak menghasilkan kesia-siaan. Padahal telah diingatkan dalam satu hadits mauquf (hanya sampai kepada sahabat) dari Hasan bin Ali:

"Apabila engkau mendapati seseorang melomba kamu dalam urusan dunia, maka lombalah dia dalam urusan akhirat." [7]

4.  Menjalankan umrah

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya bahwa Rasulullah (sallallaahu alayhi wa salam)  bersabda:

"Sesungguhnya ganjaran umrah di bulan Ramadhan, sama dengan ganjaran melaksanakan haji sekali atau bahkan haji bersamaku." [8]

Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim All Jarullah dalam "Majmu' Rasail Ramadhan iyyah" menyatakan:

"Namun yang perlu dipahami, bahwa umrah di bulan Ramadhan itu, meskipun ganjarannya sama dengan ibadah haji, namun ia tidak menggugurkan kewajiban haji itu sendiri bagi mereka yang mampu berkewajiban".

5.  Beribadah di malam Lailatul qadri

Para ulama menyatakan, bahwa malam itu disebut dengan Lailatul qadri (malam kemuliaan), karena kemuliaan dan keutamaannya. Bahkan dinyatakan, bahwa dimalam itu juga rizki dan ajal kematian para hamba untuk selama satu tahun ditentukan Allah. Sebagaimana difirmankan-Nya: "Pada malam itu dijelaskan, segala urusan yang penuh hikmat." (Ad-Dukhan: 4)

Banyak ayat yang menceritakan tentang keutamaannya yang tidak kami sebutkan di sini. Di malam itu juga pahala amal ibadah Allah lipatgandakan.

Nabi Bersabda:  "Barangsiapa yang beribadah di malam Lailatul qadri, dengan penuh keimanan dan perhitungan; akan diampuni segala dosa-dosanya yang terdahulu." [9]

Adapun waktu malam tersebut, banyak sekali diperselisihkan para ulama. Imam Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam "Fathul Bari", setelah menuturkan puluhan pendapat para ulama, berkata:

"Pendapat yang paling kuat, malam itu terdapat pada sepuluh malam terakhir.  Ia selalu berpindah, namun yang paling diharapkan dia akan muncul, pada malam-malam ganjil. Adapun tepatnya; menurut Syafi'iyyah pada malam ke 21 atau 23. Tapi menurut sebagian besar ulama pada malam ke 27."

Demikian juga pendapat syaikh al-Albani dalam "Qiyamul lail".  Para ulama sering mengungkapkan, bahwa hikmah tersembunyinya kepastian malam itu, adalah agar kaum Muslimin giat beribadah pada setiap malam bulan Ramadhan, Wallahu A'lam.

6.  I’tikaf

Lepas dari perselisihan di mesjid mana i'tikaf itu disyari'atkan, kaum Muslimin tetap harus mengakui kesepakatan para ulama bahwa i'tikaf di bulan Ramadhan, khususnya sepuluh hari terakhir, adalah keutamaan besar sekaligus sunnah yang tak pernah ditinggalkan Nabi (sallallaahu alayhi wa salam)  seumur hidupnya hingga beliau wafat.

Dari Abu Hurairah berkata:  "Nabi (sallallaahu alayhi wa salam) dahulu beri'tikaf setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun di mana beliau wafat, beliau beri'tikaf selama dua puluh hari." [10]

Karena ia merupakan sunnah yang selalu dilakukan Nabi (sallallaahu alayhi wa salam), maka kaum Muslimin pun harus merentang jalan demi melaksanakannya sedapat mungkin, di mesjid manapun i'tikaf itu dilakukan. Oleh sebab itu, para ulama yang memilih pendapat bahwa i'tikaf itu hanya di tiga mesjid utama (mesjid Al-Haram, An-Nabawi dan Al-Aqsha), mereka menjadikan dalil "dilarangnya melakukan perjalanan sulit kecuali ke tiga mesjid" untuk dibolehkannya mencapai mesjid itu dengan upaya keras, karena di sana disyari'atkannya i'tikaf, sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Ash-Shan'ani dalam "Subulu as-Salam".

Pendapat ke dua ini termasuk yang dipilih Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani Hafidzahullahu Ta'ala seperti beliau jelaskan dalam kitabnya "Qiyamu ar- Ramadhan".

Adapun bagi mereka yang berpendapat disyari'atkannya i'tikaf itu di setiap mesjid jami', merekapun harus berusaha menghidupkan kembali sunnah Nabi (sallallaahu alayhi wa salam) yang sudah lama ditinggalkan ini. [11]



3 - Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Menjalankan Puasa Ramadhan

Syaikh Abdullah bin Jarillah menyebutkan beberapa hal yang seyogyanya diperhatikan oleh orang yang berpuasa. Di sini kami nukil secara ringkas, dengan disertai sedikit tambahan dan takhrij ringkas beberapa haditsnya.

1. Mengenal hukum-hukum puasa

Banyak kaum Muslimin yang memasuki bulan puasa ini tanpa bekal ilmu tentang puasa sama sekali. Celakanya, mereka juga tak begitu merasa perlu untuk belajar. Padahal Allah Subhanahu Wa Ta'alaa berfirman:

"Bertanyalah kepada para ulama, kalau kamu sekalian tidak mengetahui." (An-Nahl: 43)

2. Ada kaum Muslimin menyambut puasa dengan hura-hura, dan bukan dengan banyak berdzikir, beristighfar dan mensyukuri nikmat Allah.

Klimaksnya, bulan yang penuh berkah ini tidaklah menggiring mereka untuk semakin bertakwa; tapi sebaliknya, semakin terbuai seribu satu kemaksiatan. Astaghfirullaah.

3.  Sebagian kaum Muslimin, memasuki bulan Ramadhan dengan gambaran lahir seperti orang-orang yang bertaubat. Mereka shalat, berpuasa dan meninggalkan banyak kemaksiatan yang biasa dilakukan.

Namun seusai bulan puasa, mereka kembali menjadi pecinta kemaksiatan. Seolah- olah, mereka hanya mengenal Allah di bulan nan suci ini. Atau mungkin mereka hanya memandang ibadah di bulan ini sebagai satu tradisi. Nabi (sallallaahu alayhi wa salam) bersabda:

"Barangsiapa yang beribadah hanya untuk didengar orang, maka Allah pun akan memberi ganjaran dengan sekedar (ibadah itu) didengar orang. Barangsiapa yang beribadah untuk sekedar dilihat orang, demikian juga Allah akan memberinya ganjaran." [12]

4.  Ada juga sebagian kaum Muslimin yang beranggapan bahwa bulan Ramadhan ini cocok dijadikan waktu untuk beristirahat, tidur-tiduran dan bermalas-malasan di siang hari, lalu begadang di malam hari. Bahkan seringkali, begadang malam itu dibumbui dengan hal-hal yang dapat mengundang kemurkaan Allah. Dengan permainan, mengobrol kesana kemari, berghibah, bahkan -kadang terjadi- berjudi, wal 'iyadzu billah.

5.  Selain itu, ada juga kaum Muslimin yang menyambut bulan ini dengan dingin dan tak bergairah.  Kalau sudah berlalu, ia akan kegirangan. Mereka beribadah dan berpuasa, semata-mata mengikuti kebiasaan manusia di sekitarnya.

Alangkah miripnya mereka dengan keadaan orang-orang munafik yang memang senang bermalas-malasan dalam ibadah. Allah Subhanahu Wa Ta'alaa berfirman:

"Sesungguhnya orang-orang munafik itu (berusaha) menipu Allah, tetapi Allah-lah yang akhirnya menipu mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk bershalat mereka berdiri dengan malas...." (An-Nisa: 142)

Rasulullah (sallallaahu alayhi wa salam) juga bersabda, yang artinya:

"Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat Isya dan Shubuh." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

6.  Banyak di antara mereka yang begadang malam untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, sampai-sampai meninggalkan subuh berjama'ah. Padahal Rasulullah (sallallaahu alayhi wa salam) bersabda:

"Tidak dibolehkah begadang itu melainkan bagi orang yang shalat (malam), atau musafir." [13]

7.  Sebagian di antara mereka menghindari diri dari berbagai pembatal puasa; seperti makan, minum, berjima' dan lain-lain. Tetapi mereka tak berusaha menghindari hal-hal yang dapat membatalkan pahala puasa; seperti bebas melihat aurat wanita di jalan-jalan (bahkan terkadang menjadi kebiasaan sehabis shubuh dan menjelang berbuka), atau di majalah-majalah, berghibah, mencaci-maki orang dan lain sebagainya.

8.  Suka berdusta

Ada sebagian kaum Muslimin yang menganggap ringan berkata dusta, termasuk di bulan suci Ramadhan, di kala berpuasa.

Padahal Rasulullah (sallallaahu alayhi wa salam) pernah bersabda:

"Barangsiapa yang tidak juga meninggalkan berkata-kata dusta dan masih juga melakukannya (di kala berpuasa), maka Allah tak sedikitpun sudi menerima ibadah puasanya, meski ia meninggalkan makan dan minum." [14]

9.  Satu hal yang aneh, namun benar-benar sering terjadi; seseorang berpuasa, tapi tidak shalat. Atau terkadang ada yang rajin shalat, tapi selalu beralasan tidak kuat berpuasa.  Padahal sungguh tidak ada manfaat orang itu berpuasa kalau dia tidak shalat. Karena shalat adalah pilar dien/agama Islam.

10.  Ada juga sebagian kaum elit di kalangam Muslimin yang sengaja bersafar terkadang keluar negeri agar mendapat keringanan untuk tidak berpuasa.  Padahal Allah Maha Mengetahui apa yang terbetik dalam hati hamba-Nya.

11.  Sebagian kaum Muslimin, ada yang berbuka puasa dengan mengkonsumsi sesuatu yang haram. Terkadang minuman keras, rokok (itu banyak terjadi), serta makanan dan minuman yang didapat dan usaha yang haram.  Selain itu, beliau juga menyebutkan beberapa hal lain yang layak diperhatikan.

Dan juga masih banyak lagi kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan sebagian kaum Muslimin dalam melakukan ibadah puasa.

Terkadang, bahkan merusak bingkai kerja dari puasa itu sendiri;  yaitu menahan diri dan makan dan minum. Bentuknya? Dengan mengumbar nafsu makan dan minum tatkala berbuka puasa. Ibnu Taimiyyah mengungkapkan penafsiran yang bagus tentang hadits nabi (sallallaahu alayhi wa salam): "Sesungguhnya setan itu mengalir dalam tubuh manusia mengikuti aliran darah." [15]

Beliau (sallallaahu alayhi wa salam) berkata:

"Orang yang puasa dilarang makan dan minum karena keduanya adalah sebab tubuh itu menjadi kuat. Dan makanan dan minum itulah yang dapat menghasilkan banyak darah, tempat di mina setan ikut berjalan mengaliri tubuh manusia. Sesungguhnya darah yang di telusupi setan itu memang berasal dan makanan dan minuman, bukan dan suntikan atau faktor keturunan." [16]



4 - Manfaat-Manfaat Ibadah Puasa

Syaikh Ali Hasan dalam "kitabu Ash-Shiyam" menuturkan beberapa faedah puasa berdasarkan keterangan dari beberapa hadits. Akan kami sebutkan di sini dengan ringkas:

1.  Puasa itu adalah perisai

Bagi mereka yang masih diamuk jiwa muda dan syahwat membara, namun masih belum terbuka pintu menuju pelaminan; disyari'atkan baginya untuk mengekang keinginan syahwatnya itu dengan berpuasa. Rasulullah (sallallaahu alayhi wa salam) bersabda, yang artinya:

"Wahai pemuda-pemudi, barangsiapa di antara kamu yang sudah memiliki kemampuan seksualitas, hendaknya ia menikah. Karena menikah itu lebih dapat memelihara pandangan dan kemaluan. Kalau ia belum mampu menikah, hendaknya ia berpuasa. Sesungguhnya puasa itu adalah obat penawar gejolak syahwat."

Lebih khusus lagi Rasulullah (sallallaahu alayhi wa salam) juga bersabda yang artinya:

"Puasa itu ibarat perisai, ia akan menamengi seorang samba dari siksa neraka." [17]

Nah khusus di bulan Ramadhan, sebulan penuh seorang Muslim akan diasah jiwanya dengan puasa sehingga bisa terbentengi dari sergapan setan yang selalu memperalat hawa nafsu untuk menjungkirkan seorang hamba ke jurang neraka. Tentu saja hal itu utama bagi mereka yang berkeinginan dengan puasanya untuk mencapai ketakwaan  kepada Allah.

2.  Puasa adalah jalan menuju Jannah

Dari Umamah berkata: "Wahai Rasulullah, tunjukkanlah aku satu amalan yang akan menggiringku menuju Jannah." Beliau bersabda: "Lakukan puasa,tak ada amalan yang setara dengannya." [18]

3.  Puasa dapat menjadi perantara turunnya syafa’at

Rasulullah (sallallaahu alayhi wa salam) bersabda, yang artinya:

"Puasa dan al-Qur'an akan memberi syafat kepada seorang hamba di hari kiamat nanti.  Sang puasa berkata: "Ya Allah, aku telah menghalanginya makan dan mengumbar nafsu, jadikanlah aku perantara untuk menyampaikan syafa'at-Mu kepadanya." [19]

4.  Dua saat kebahagiaan bagi orang yang berpuasa

Nabi (sallallaahu alayhi wa salam) bersabda:

"Orang yang berpuasa memiliki dua saat-saat penuh kebahagiaan: kala ia berbuka, dan, di saat ia menjumpai Rabb-nya (selepas hidup di dunia)." [20]

5.  Pintu Rayyan di Jannah (surga), bagi kaum yang berpuasa

Dari Sahal bin Sa'ad, dari Nabi (sallallaahu alayhi wa salam) bahwasanya beliau bersabda, yang artinya:

"Sesungguhnya di Jannah kelak, ada pintu yang bernama Rayyan. Dari situlah kaum yang berpuasa akan masuk Jannah di hari kiamat. Tak seorangpun kecuali mereka yang akan memasukinya. Bila orang terakhir di antara mereka telah masuk, pintu segera ditutup; dan barangsiapa (di antara yang masuk) meminum sedikit airnya, niscaya ia tak akan dahaga selamanya." [21]

Allah-lah Pencipta segala kebahagiaan, kepada-Nyalah kembali akhir kehidupan.

Selayaknya kita menyambut bulan yang penuh berkah dengan penuh gairah dan kegembiraan. Di sanalah, dan dari sanalah kita akan beranjak dengan taufik Sang Maha Rahman  menuju Jannah-Nya yang penuh kebahagiaan.



Abu Umar Basyir

Didownload dari http: //www.vbaitullah.or.id

[1] ) Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Zakat: 7576, 7712, 7713, 8015, 10464 dari hadits Abu Hurairah.

[2] ) HR. Muslim dalam kitab Ath-Thaharah: 342, 343, 344.

[3] ) HR.Tirmidzi kitab Zakat: 599, Baihaqi, Ibnu Khuzaimah dan lain-lain. Imam Tirmidzi berkata: "Hadits ini gharib."

[4] ) Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Asy-Syamail al-Muhammadiyah.

[5] ) Diriwayatkan oleh Abu Dawud 1/217, Tirmidzi 11/72-73 dan beliau berkomentar: Sanad hadits ini shahih. Juga oleh Nasai 1/238, Ibnu Majah 1/397 dan lain-lain.

[6] ) Shalat At-Tarawih, hal. 15 - Al-Maktab Al-lslami.

[7] ) Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ad-Dunya dalam kitab "Dzammu Ad-Dunya" No. 465 (lihat Al- ljabah Al-bahiyyah, Abdulllah bin Sa'dan - Dariil'Ashimah hal. 12).

[8] ) HR. Al-Bukhari IV/245

[9] ) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari/1910 dan Muslim/759 dan Tirmidzi (619) dalam kitab: Ash- Shaum.

[10] ) HR. Al-Bukhari IV/245.

[11] ) Di antara para ulama yang berpendapat seperti ini:

1. Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya 11/187;

2. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1V/319, cetakan Daru Ad-Diyan;

3. Al-Imam Al-Baghwi dalam Syarhu As-Sunnah VI/494 cetakan Al-Maktab al-Islami;

4. Al-Mawardi dalam "Al-Hawi Al-Kabrr" 111/485 cetakan Daru al-Kutub al-Ilmiyyah;

5. An-Nawawi dalam "Al-Majmu"' VI/483 cetakan Daru al-Fikr;

6. Ibnu Qasim Ar-Ra_'i dalam Fathul Aziz V1/484;

7. Ibnu Quddamah dalam "Al-Mughni" 1V/462 cetakan Hajar Kaira Mesir dan juga dalam 'Asy-Syarhu al-Kabir';

8. Ibnu Dhawiyyan dalam 'Manaru as-Sabil" 1/224 cetakan Daru al-Ma'arif;

9. Imam Syaukani dalam "Nailul Author" 1V/769 cetakan Daru al-Jiel Lebanon;

10. Sayyid Sabiq dalam Fiqhu as-Sunnah dan lain-lain.

[12] ) Dengan lafadz ini dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Ibnu Abbas (2986). Juga dari hadits Jundub dengan lafadz yang berbeda (6123). Al-Bukhari juga meriwayatkannya dalam kitab: Ar-Raqaiq (6134).

[13] ) Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (3421, 4023) dan Imam Suyuthi dalam Al-Jami' Ash-Shaghir, dan beliau mengisyaratkannya sebagai hadits hasan.

[14] ) HR. AI-Bukhari kitab: Ash-Shaum 1770, 5597 dengan lafadz:

Barangsiapa yang belum meninggalkan perkataan dusta, mengerjakannya dan masa bodoh dengannya...

[15] ) Diriwayatkan oleh Ahmad (12132, 13631), Al-Bukhari kitab A1-I'tikaf (1897), kitab: Bad'ul kholq (3039) dan kitab; Al-Adab (6761) dan Muslim kitab: As-Salam (4040) dari hadits Anas bin Malik dan Shafiyyah binti Huyay, juga oleh Abu Dawud kitab: Al-Adab (4243), At-Tirmidzi kitab: Ar-Radha' (1092) Ibnu Majah kitab: Ash-Shiyam (1769) dan ini lafadznya.

[16] ) Lihat Haqiqatu ash-shiyam - oleh Ibnu Taimiyyah.

[17] ) Diriwayatkan oleh Ahmad 111/241.

[18] ) Diriwayatkan oleh Nasa'i (1V/165), Ibnu Hibban (hal. 232 - Mauridu Adz-Dzam'an) dan Al-Hakim (1/421).

[19] ) Diriwayatkan oleh Ahmad: 6626, Al-Hakim: U 54 dan lain-lain dari hadits Abdullah bin Amru.

[20] ) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Ash-Shaum.

[21] ) Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (4/95), Muslim (1152). Sedikit tambahan dibagian akhir hadits berasal dari Shahih Khuzaimah (1903)

Perayaan Nisfu Sya’ban


Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Segala puji bagi Allah yang telah menyempurnakan agama ini bagi kita, dan telah menyempurnakan nikmat-Nya untuk kita. Shalawat serta salam semoga tercurah pada nabi dan rasul kita, Muhammad sallallaahu alayhi wa salam.

Allah berfirman:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3)

Allah juga berfirman:

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21)



Dalam shahih Bukhari dan Muslim, dari Aisyah radiyallaahu anha, dari Rasulullah sallallaahu alayhi wa salam, beliau bersabda:

“Barang siapa yang mengada-adakan suatu perkara dalam urusan (agama) kami, yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalannya tertolak”

Dan dalam shahih Muslim dari Jabir radiyallaahu anhu, bahwasanya Rasulullah sallallaahu alayhi wa salam bersabda pada khutbah Jum’at:

“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk nabi Muhammad n dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap perkara yang diada-adakan adalah sesat”

Dan masih banyak lagi ayat dan hadits yang semakna dalam masalah ini.

Dalil-dalil di atas menunjukkan dengan sangat gamblang bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya bagi umat ini, dan Dia tidak mewafatkan nabi Muhammad sallallaahu alayhi wa salam melainkan setelah tersampainya agama ini secara keseluruhan dan telah menjelaskan segala yang Allah syari’atkan baik berupa perkataan maupun perbuatan kepada umat ini. Rasulullah sallallaahu alayhi wa salam telah menjelaskan bahwa setiap perkara baru yang diada-adakan baik berupa perkataan maupun perbuatan, dan disandarkan pada Islam, maka perkara tersebut tertolak, walaupun disertai dengan niat yang baik.

Para shahabat dan ulama sesudahnya pun mengetahui perkara ini. Mereka juga mengingkari bid’ah dan mengingatkan umat ini agar berhati-hati terhadap perkara tersebut, sebagaimana yang disebutkan oleh setiap penulis yang membahas keagungan sunnah dan pengingkaran terhadap bid’ah.  Misalnya Ibn Waddhah, at-Thurthusy, Ibnu Syamah dan lainnya.

Diantara bid’ah yang kerap dilakukan di masyarakat adalah mengadakan perayaan malam Nisfu Sya’ban, serta mengkhususkan puasa pada hari tersebut.

Sementara tidak ada satupun dalil dalam hal ini yang dapat dipertanggungjawabkan keshahihannya. Hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan nisfu Sya’ban adalah hadits-hadits dhaif (lemah) yang tidak dapat dijadikan landasan dalam beramal. Begitu pula dalil-dalil tentang keutamaan shalat pada malam Nisfu Sya’ban adalah hadits-hadits palsu, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama, yang insyaaLlah nanti akan dinukilkan beberapa perkataan mereka.

Pendapat ulama ahlu Syam (Syiria sekarang, -pent) yang juga disepakati jumhur ulama’, mengatakan bahwa melakukan perayaan Nisfu Sya’ban adalah bid’ah, dan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah dhaif (lemah), bahkan sebagiannya palsu. Diantaranya adalah al Hafidz ibnu Rajab dalam kitabnya Lathaiful Ma’arif.  Hadits-hadits dhaif hanya boleh diamalkan dalam ibadah jika didukung dengan dalil shahih yang menguatkannya.  Sementara tidak ada satupun dalil shahih tentang perayaan malam Nisfu Sya’ban, sehingga hadits-hadits lemah tersebut tidak bisa diamalkan.

Al Imam Abul Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menjelaskan sebuah kaidah yang agung, yang disepakati oleh para ulama bahwa merupakan kewajiban untuk mengembalikan setiap apa yang diperselisihkan manusia kepada kitabullah (Al-Quran) dan sunnah rasul-Nya (Hadits).  Hukum apa saja yang dijelaskan pada keduanya atau salah satunya adalah merupakan ketentuan yang wajib diikuti, dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya harus dibuang jauh-jauh, dan ibadah yang tidak ada penjelasannya dalam kitabullah ataupun sunnah Nabi-Nya termasuk perkara bid’ah yang tidak boleh diamalkan terlebih untuk didakwahkan dan diajarkan.

Sebagaimana firman Allah dalam surat Annisa ayat 59:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Allah juga berfirman:

“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (QS.Asy Syuro: 10).

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” (QS. Ali Imron: 31).

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An Nisa: 65).

Masih banyak ayat-ayat yang semakna dalam hal ini. Ayat-ayat tersebut merupakan nash yang menjelaskan wajibnya mengembalikan setiap perkara yang diperselisihkan kepada Al-Qur’an dan sunnah nabi-Nya, serta ridha pada ketentuan hukum yang ditetapkan di dalam keduanya. Yang hal itu merupakan konsekuensi makna iman dan sebaik-baik bagi hamba, baik di dunia baik pula di akhirat. Makna " أحسن تأويلاً " dalam ayat diatas yaitu sebaik-baik akibat.

Dalam permasalahan ini, Al Hafidz Ibn Rajab v berkata dalam kitabnya Lathaiful Ma’arif -:  “Perayaan malam Nisfu Sya’ban berasal dari ahlu Syam, seperti Khalid Ibnu Ma’dan, Makhul, Luqman Bin ‘Amir, dan lainnya. Mereka mengagungkan hari tersebut dan bersungguh-sungguh dalam beribadah pada hari tersebut. Dari merekalah orang-orang mengambil keutamaan dan pengagungan malam Nisfu Sya’ban".

Ada pula yang mengatakan bahwa hal itu bersumber dari kisah-kisah Israiliyat.  Banyak ulama’ Hijaz (Arab Saudi sekarang -pent) yang mengingkarinya, diantaranya adalah Atha’ dan Ibnu Abi Mulaikah.  Abdurrahman  bin Zaid bin Aslam menukil dari para fuqaha’ ahlul Madinah, yang merupakan perkataan para sahabat imam Malik dan selainnya bahwa mereka berkata: “semua itu adalah perkara bid’ah, tidak ada perkataan imam Ahmad dalam masalah malam Nisfu Sya’ban,...” sampai pada perkataan beliau “tidak ada satu dalil pun dari Rasulullah ataupun para shahabatnya untuk menghidupkan malam Nisfu Sya’ban”.

Ibnu Rajab menjelaskan bahwa Rasulullah sallallaahu alayhi wa salam dan para shahabatnya tidak menetapkan suatu ibadah apapun pada malam Nisfu Sya’ban.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan syari’at,  yang tidak ada ketetapannya berdasarkan dalil syar’i, maka seorang muslim tidak boleh mengada-adakannya, baik hal itu dikerjakan sendiri ataupun berjama’ah, sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan, berdasarkan keumuman hadits nabi Muhammad sallallaahu alayhi wa salam: “barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak”, serta dalil-dalil lain yang menunjukkan pengingkaran terhadap bid’ah dan peringatan dari perbuatan tersebut.

Imam Abu Bakar al Thurthusy berkata di dalam kitabnya Al Hawadits Wal Bida’:  “Ibnu Wadhaah meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, bahwa dia berkata:  Kami tidak mengetahui satupun dari syaikh (guru) kami, ataupun dari para fuqaha’ kami yang menaruh perhatian terhadap perayaan Nisfu Sya’ban dan mereka juga mengacuhkan hadits Makhul. Mereka juga tidak melihat adanya keutamaan pada malam nisfu Sya’ban dibanding malam yang lain.”

Pernah dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah bahwa Ziyad an Numairi berkata: “Sesungguhnya pahala pada malam nisfu Sya’ban adalah menyamai pahala pada malam Lailatul Qadar”, maka beliau berkata: “Seandainya aku mendengar perkataannya dan di tanganku ada tongkat, niscaya aku akan memukulnya. Ziyad itu tukang mendongeng”.

As-Syaukani, menulis dalam kitabnya Al Fawaidul Majmu’ah, bahwa hadits yang berbunyi:

يَا عَلِيُّ مَنْ صَلَّى مِائَةَ رَكْعَةٍ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، وَ" قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ " عَشَرَ مَرَّاتٍ، إِلاَّ قَضَى اللهُ لَهُ كُلَّ حَاجَةٍ ... الخ

“Wahai Ali, barang siapa yang shalat pada malam Nisfu Sya’ban 100 rakaat, pada tiap rakaat membaca al Fatihah dan al Ikhlas 10 kali, niscaya Allah akan kabulkan setiap hajatnya...dst”

adalah hadits palsu, didustakan atas nama Nabi.  Para perawinya majhul (tidak dikenal, tidak diketahui ke-tsiqah-annya), hadits-hadits yang diriwayatkan dari jalan ke dua semuanya palsu, dan para perawinya majhul.

Dalam kitab Al-Mukhtashar, As-Syaukani menambahkan bahwa hadits tentang shalat pada malam Nisfu Sya’ban adalah batil, adapun hadits Ibnu Hibban dari hadits Ali radiyallaahu anhu: “Jika datang malam Nisfu Sya’ban maka shalatlah pada malamnya dan berpuasalah pada siangnya” adalah hadits dhaif.

Beliau juga berkata dalam kitab Al-La’aali, bahwa hadits yang berbunyi:

مِائَةُ رَكْعَةٍ فِيْ نِصْفِ شَعْبَانَ بِاْلإِخْلاَصِ عَشَرَ مَرَّاتٍ...

Shalat seratus rakaat pada malam Nisfu Sya’ban yang dikerjakan dengan ikhlas sebanyak sepuluh kali...dst

Hadits di atas adalah palsu, dan keseluruhan perawinya majhul (tidak dikenal) dan lemah. Beliau juga berkata: “hadits shalat sebanyak dua belas rakaat yang dikerjakan dengan ikhlas sebanyak tiga puluh kali adalah hadits palsu, demikian juga hadits tentang shalat empat belas rakaat.

Ada sebagian fuqaha yang terpedaya dengan hadits-hadits ini. Seperti penulis kitab Ihya dan lainnya, juga sebagian kalangan mufassirin. Shalat malam nisfu Sya’ban ini memang diriwayatkan dengan banyak jalan. Tapi semuanya batil dan palsu.

Al-Hafidz al-Iraqy berkata: “hadits shalat malam nisfu Sya’ban adalah hadits palsu yang didustakan atas nama Rasulullah sallallaahu alayhi wa salam.”

Dan Imam An Nawawi dalam kitab Al Majmu’ juga berkata: “Shalat yang dikenal dengan nama shalat Raghaib, yaitu shalat dua belas rakaat yang dilakukan antara shalat Maghrib dan Isya pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, dan shalat pada malam nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat, adalah bid’ah lagi mungkar.

Tidak boleh seseorang terkecoh dengan kedua shalat itu hanya karena disebutkan dalam kitab Quutul Qulub dan Ihya’ Ulumuddiin, ataupun terhadap hadits-hadits yang disebutkan pada dua kitab tersebut, karena semuanya batil.

Dan hendaknya janganlah mudah percaya kepada sebagian orang yang tidak paham lalu menyamarkan hukum keduanya. Kemudian mereka menulis makalah-makalah tentang disyariatkannya dua shalat tersebut. Karena hal itu adalah suatu kesalahan.”

Syaikhul Islam Imam Abu Muhammad Abdurrahman Bin Ismail Al Maqdisy menulis sebuah kitab yang sangat bagus yang membahas kebatilan kedua shalat tersebut dengan sangat baik. Perkataan para ahlul ilmi dalam permasalahan ini sangat banyak, yang jika kami nukil satu per satu perkataan mereka niscaya pembahasan ini akan menjadi panjang, maka semoga apa yang telah kami sebutkan sudah cukup bagi siapa saja yang menginginkan kebenaran.

Dari ayat-ayat, hadits-hadits serta perkataan para ahlul ilmi yang telah disampaikan diatas, cukup jelaslah bagi para pencari kebenaran bahwa perayaan malam nisfu Sya’ban atau malam lainnya dengan shalat tertentu, dan mengkhususkan siangnya dengan puasa tertentu adalah bid’ah lagi mungkar menurut sebagian besar ulama. Ia tidak memiliki landasan dalam syari’at yang suci ini. Akan tetapi hal tersebut termasuk jenis ibadah baru yang diada-adakan sesudah masa para shahabat g.

Cukuplah bagi para pencari kebenaran dalam perkara ini untuk  perpegang teguh pada firman Allah:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu” (QS. Al-Maidah: 3).

Dan ayat-ayat semakna lainnya.

Juga sabda nabi Muhammad sallallaahu alayhi wa salam :

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang mengada-adakan suatu perkara dalam urusan (agama) kami, yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalannya tertolak”

Serta hadits-hadits lain yang semakna.

Dan dalam shahih Muslim, dari Abu Hurairah radiyallaahu anhu berkata:

“Rasulullah sallallaahu alayhi wa salam bersabda: 'janganlah kalian mengkhususkan malam jum’at dari malam-malam yang lain dengan shalat, dan jangan pula kalian mengkhususkan siangnya untuk berpuasa, kecuali jika sebelum hari tersebut salah seorang diantara kalian telah berpuasa'”

Seandainya mengkhususkan satu malam diantara malam-malam yang lain dengan ibadah itu boleh, niscaya mengkhususkan malam Jum’at itu lebih utama dari malam yang lain, karena hari tersebut adalah sebaik-baik hari, berdasarkan nash dari hadits-hadits shahih dari Rasulullah sallallaahu alayhi wa salam.

Tatkala Rasulullah sallallaahu alayhi wa salam memperingatkan agar tidak mengkhususkan malam Jum’at dari malam-malam yang lain dengan ibadah, maka hal itu menunjukkan bahwa malam-malam yang lain lebih tidak boleh lagi untuk dikhususkan dengan ibadah. Kecuali jika ada dalil shahih yang menunjukkan pengkhususannya.

Ketika pada malam lailatul qadar dan malam-malam bulan Ramadhan disyari’atkan untuk memperbanyak shalat dan bersungguh-sungguh untuk beribadah, Nabi menekankan dan menganjurkan umatnya untuk mengerjakannya, serta beliau sendiri mencontohkannya dengan ibadah yang beliau kerjakan. Ini sebagaimana termaktub dalam shahih Bukhari dan Muslim, bahwasanya beliau bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barang siapa yang mengerjakan shalat malam Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala maka Allah akan ampuni dosa-dosanya yang terdahulu.

Dan hadits:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barang siapa yang mengerjakan shalat pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka Allah akan ampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Maka seandainya pada malam Nisfu Sya’ban atau malam Jum’at pertama dari bulan Rajab atau malam Isra’ Mi’raj disyari’atkan pengkhususannya dengan perayaan atau bentuk ibadah-ibadah yang lain, niscaya Rasulullah telah menyampaikannya kepada umatnya atau Beliau sendiri melaksanakannya. Lalu para shahabat akan menukilkan hal tersebut kepada umat ini dan tidak akan menyembunyikannya. Karena mereka adalah sebaik-baik umat dan sebaik-baik pemberi nasehat setelah para nabi.

Dari perkataan para ulama’ tadi, dapat disimpulkan bahwa tidak ada ketetapan apapun dari Rasulullah sallallaahu alayhi wa salam ataupun dari para shahabat tentang keutamaan malam Jum’at pertama dari bulan Rajab dan malam Nisfu Sya’ban. Sehingga dari situ diketahui bahwa perayaan pada dua waktu tersebut adalah perkara bid’ah yang diada-adakan dalam Islam, demikian juga mengkhususkan dua waktu tersebut dengan ibadah-ibadah adalah bid’ah yang mungkar.

Demikian halnya dengan malam ke-27 dari bulan Rajab yang diyakini sebagian orang sebagai malam Isra’ Mi’raj. Tidak boleh mengkhususkan waktu tersebut dengan ibadah tertentu sebagaimana tidak bolehnya melakukan perayaan pada waktu tersebut berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan diatas. Bagaimana mungkin perkara (melakukan perayaan pada malam-malam tersebut) dikenal sebagai ajaran Islam, sementara para ulama telah mengatakan bahwa perkara tersebut tidak dikenal dalam ajaran Islam?! Dan perkataan orang-orang bahwa malam Isra’ Mi’raj jatuh pada malam 27 Rajab  adalah perkataan yang batil, tidak ada dasarnya dalam hadits-hadits yang shahih.

Benarlah orang yang mengatakan, “sebaik-baik perkara adalah (perkara) yang telah dilaksanakan orang-orang terdahulu yang berada diatas petunjuk, dan sejelek-jelek perkara dalam Islam adalah perkara bid’ah yang diada-adakan”

Kami memohon kepada Allah agar memberi taufiq kepada kami dan kepada seluruh kaum muslimin agar berpegang teguh pada sunnah dan berpijak kokoh diatasnya, waspada dari hal-hal yang menyelisihinya, sesungguhnya Allah adalah Maha Baik dan Maha Pemurah.

Dan shalawat semoga senantiasa tercurah kepada hamba-Nya dan rasul-Nya, nabi kami Muhammad SAW, keluarnya dan para shahabatnya.

sumber : http://indonesian.iloveallaah.com/perayaan-nisfu-sya%E2%80%99ban/

10 Kerusakan dalam Perayaan Tahun Baru


Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Simak dalam bahasan singkat berikut.

Sejarah Tahun Baru Masehi

Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.[1]

Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.

Secara lebih rinci, berikut adalah beberapa kerusakan yang terjadi seputar perayaan tahun baru masehi.

Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan 'Ied (Perayaan) yang Haram

Perlu diketahui bahwa perayaan ('ied) kaum muslimin hanya ada dua yaitu 'Idul Fithri dan 'Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan, “Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, “Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha”.”[2]

Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah menjelaskan bahwa perayaan tahun baru itu termasuk merayakan ‘ied (hari raya) yang tidak disyariatkan karena hari raya kaum muslimin hanya ada dua yaitu Idul Fithri dan Idul Adha. Menentukan suatu hari menjadi perayaan (‘ied) adalah bagian dari syari’at (sehingga butuh dalil).[3]

Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir

Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.

Dari Abu Sa'id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?”[4]

Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan benar-benar nyata saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.

Ingatlah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh). Beliau bersabda, ”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[5][6]

Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru

Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari'atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun.

“Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama'ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari'atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.

Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat (bermain petasan dan lainnya), mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.” Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud, ”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.” Ibnu Mas’ud lantas berkata,  “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.”[7]

Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.

Kerusakan Keempat: Mengucapkan Selamat Tahun Baru yang Jelas Bukan Ajaran Islam

Komisi Fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah ditanya, “Apakah boleh mengucapkan selamat tahun baru Masehi pada non muslim, atau selamat tahun baru Hijriyah atau selamat Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? ” Al Lajnah Ad Daimah menjawab, “Tidak boleh mengucapkan selamat pada perayaan semacam itu karena perayaan tersebut adalah perayaan yang tidak masyru’ (tidak disyari’atkan dalam Islam).”[8]

Kerusakan Kelima: Meninggalkan Shalat Lima Waktu

Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik. Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar.[9] Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, ”Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[10]Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.

Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat

Begadang tanpa ada kepentingan yang syar'i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat 'Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[11]

Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat 'Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama'ah. 'Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!”[12] Apalagi dengan begadang ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!

Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina

Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan  jenis. Inilah yang terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi.

Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin

Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.”[13]

Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.”[14] Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!

Kerusakan Kesembilan: Melakukan Pemborosan yang Meniru Perbuatan Setan

Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?!  Padahal Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya),  “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27).

Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga

Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang manfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.”[15] Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”[16]

Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah, bukan dengan menerjang larangan Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (QS. Fathir: 37). Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”[17]Wallahu walliyut taufiq.



[1] Sumber bacaan: http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_baru
[2] HR. An Nasa-i no. 1556. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3] Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah menyampaikan hal ini saat sesi tanya jawab-Durus Mukhtashor Zaadil Ma’ad, 20 Muharram 1432 H, di Riyadh-KSA.
[4] HR. Muslim no. 2669, dari Abu Sa'id Al Khudri.
[5] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269.
[6] Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’). Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 1/363, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H.
[7] HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid (bagus).
[8] Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alu Syaikh selaku ketua; Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan, Syaikh Sholih Al Fauzan, Syaikh Bakr Abu Zaid selaku anggota. Soal pertama dari Fatwa no. 20795.
[9] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7, Dar Al Imam Ahmad
[10] HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574
[11] HR. Bukhari no. 568
[12] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/278, Asy Syamilah.
[13] HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 41
[14] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 1/38, Asy Syamilah
[15] HR. Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[16] Al Fawa’id, hal. 33
[17] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/553, pada tafsir surat Fathir ayat 37.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber :remajaislam.com

Taruhan (judi) dalam Olahraga


Perjudian didefinisikan sebagai transaksi yang mengandung unsur spekulasi yang bisa menguntungkan salah satu pihak dan merugikan yang lainnya.
Perjudian dengan uang atau barang, diharamkan oleh Allah karena berpotensi terhadap timbulnya permusuhan dan kebencian di antara para pelakunya, di samping berpotensi dalam menjauhkan diri dari Allah dan melalaikan shalat. Sebagaimana difirmankan Allah dalam surat al-Maaidah ayat 90 - 91:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الخَمْرُ وَالمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(90) إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ العَدَاوَةَ وَالبَغْضَاء فِي الخَمْرِ وَالمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَل أَنتُم مُّنتَهُونَ(91

Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)."
[Al-Maa'idah (5) : 90-91]
Taruhan dalam menonton sepak bola tidak termasuk dalam perlombaan yang memenuhi kriteria yang diperbolehkan syariah. Taruhan tidak ubahnya perjudian, karena para peserta memberikan uang, lalu menggantungkan kepada nasib dan kejadian yang belum jelas, bila pilihannya tepat ia akan mendapatkan uang rivalnya dan bila pilihannya meleset, uangnya akan diambil oleh rivalnya. Inilah bentuk perjudian yang dilakukan oleh bangsa Arab saat diturunkan ayat al-Qur'an di atas. Meskipun taruhan itu tidak berbentuk uang, misalnya dengan mentraktir lawannya, ini juga tidak jauh berbeda dengan apabila menggunakan uang.
Memang terkadang taruhan tidak menggunakan jumlah uang yang cukup besar dan tidak untuk mencari untung. Namun perlu diketahui, sebenarnya di sana juga terjadi ajang perjudian dan taruhan dalam jumlah yang tidak sedikit dan untuk mencari keuntungan dan spekulasi. Tindakannya sama, pekerjaannya juga sama dan tatacaranya pun sama, tentu hukumnya pun tidak akan berbeda.
Kalau kita dilarang melakukan sesuatu oleh agama, kita harus meninggalkannya secara keseluruhan baik besar maupun kecil. Kita dilarang mencuri, apakah kita boleh mencuri uang yang jumlahnya sedikit? Kita dilarang minum minuman memabokkan, tentu banyak maupun sedikit yang kita minum tetap diharamkan. Terkadang karena biasa melakukan dosa kecil, kita menjadi ringan hati untuk melakukan dosa yang lebih besar dan seterusnya.
Menjadi penggemar olahraga dan menikmatinya tidak harus melalui tatacara yang salah, dilarang agama atau malah menjerumuskan diri kepada hal-hal yang negatif. Di sana juga banyak nilai positif yang bisa kita petik kalau kita menghendakinya, seperti pentingnya kesehatan, sportifitas, kejujuran dan keuletan, do'a, disiplin serta manajemen waktu yang baik. Itu semua nilai-nilai Islami yang terkadang kita lupakan pada saat kita menonton pertandingan olahraga, sehingga tidak sedikit dari saudara-saudara kita yang lebih senang mengambil nilai negatifnya.
Wallahu alam. Semoga bermanfaat.

sumber : ILoveAllaah.com Indonesian Version <admin@iloveallaah.com>;