Sabtu, 09 Juni 2012

Agar Ibadah Puasa Lebih Bermakna


Bulan Ramadhan merupakan bulan nan pernuh berkah; Ramadhan menjadi penghulu segala bulan dalam hitungan tahun Hijriyah, tahunnya umat Islam. Ramadhan adalah bulan shiyam (puasa), dan dia juga bulan qiyam (shalat malam).

1 - Keutamaan Bulan Ramadhan

Hadits-hadits yang mengupas keutamaan bulan nan agung ini, cukup banyak dan bercorak ragam. Cukup kita petik beberapa di antaranya, sebagai penambah muatan motivasi yang mengangkat gairah imani kita untuk memasuki bulan Ramadhan yang akan datang menjelang, dengan penuh harap akan ampunan dan karunia-Nya.

Dari Ubadah bin Shamit bahwasanya Rasulullah (sallallaahu alayhi wa salam) bersabda, yang artinya:

"Telah datang kepadamu Bulan Ramadhan, bulan nan penuh berkah. Di bulan itu Allah akan menaungimu; menurunkan rahmat dan menghapus dosa-dosa, mengabulkan doa dan memperhatikan bagaimana kamu sekalian saling berlomba-lomba (dalam kebaikan) pada bulan itu. Allah pun membanggakan dirimu di hadapan para malaikat-Nya. Maka perlihatkanlah (wahai kaum Muslimin) segala kebaikan pada dirimu. Sesungguhnya orang yang celaka adalah orang yang kehilangan rahmat Allah." (Diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani).

Hadits yang lain:

"Telah dianugerahkan kepada ummatku pada bulan Ramadhan lima karunia yang tidak pernah diberikan kepada ummat manapun sebelum mereka:

Aroma mulut orang yang berpuasa, disisi Allah, lebih harum semerbak ketimbang bau kesturi. Para malaikat memohonkan bagi mereka ampunan hingga waktu berbuka. Setiap hari di bulan itu, Allah menghiasi Jannah-Nya seraya berfirman kepada sang Jannah:

"Tak lama lagi, para hamba-Ku yang shalih akan dibebaskan dari beban dan kesusahan, lalu beranjak menemuimu."

Di bulan itu, para jin pembangkang dibelenggu; mereka tak dapat bebas berbuat, seperti pada bulan-bulan yang lain. Lalu, Allah mengampuni dosa- dosa mereka pada malam terakhir.

Ada sahabat yang bertanya: "Ya RasulAllah, apakah malam terakhir itu, malam Lailatul Qadar?".

Beliau menjawab:

"Bukan, karena orang yang beramal akan mendapati ganjarannya, bila ia telah selesai menunaikannya." [1]

Ada beberapa hadits lain yang senada dengan itu.  Dua hadits di atas, dan banyak lagi yang lainnya meliputi beberapa kesimpulan:

1.  Allah telah memberkahi bulan Ramadhan ini sebagai bulan pengampunan atas segala dosa, bagi orang yang memenuhi bulan ini dengan beragam ibadah; tetapi tidak untuk dosa-dosa besar.

Nabi (sallallaahu alayhi wa salam) bersabda:  "Barangsiapa yang beribadah pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan introspeksi diri, akan Allah ampuni dosa-dosanya yang terdahulu." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dan Salman Al-Farisi, bahwasanya Rasulullah (sallallaahu alayhi wa salam) bersabda:  "Antara shalat-shalat lima waktu; antara Jum'at dengan Jum'at; dan antara Ramadhan yang satu dengan ramadhan berikutnya; ada pengampunan dosa, bagi mereka yang menghindari dosa-dosa besar."[2]

Dosa-dosa besar hanyalah diampuni, lewat taubat tersendiri yang dilakukan seorang hamba dengan penuh penyesalan di hadapan Allah. Hanya saja sebagian ulama, di antaranya Ibnu Taimiyyah, Imam Nawawi dan lain-lain menegaskan; bahwa Ibadah Ramadhan, berikut shaum dan shalat malamnya, bila dilakukan dengan penuh keikhlasan berarti sudah mencakup taubat itu sendiri. Dan itulah yang menjadi tujuan puasa, bahkan seluruh ibadah seperti tertera dalam al-Qur'an adalah: Agar kamu sekalian bertakwa.

2.  Termasuk keberkahan bulan suci Ramadhan adalah sempitnya ruang gerak setan itu untuk melancarkan godaan dan tipu dayanya terhadap bani Adam.

Terbelenggunya mereka, adalah dengan kehendak Allah dan dalam pengertian yang sesungguhnya. Namun juga tidak berarti mereka berhenti menggoda manusia secara total, seperti tersebut dalam hadits di atas.

3.  Dihiasinya Jannah untuk menyambut kedatangan orang-orang yang berpuasa, seusai menjalani cobaan Allah selama masa hidup di dunia. Ini salah satu bentuk Tabsyir atau kabar gembira dari Allah.

4.  Keberkahan bulan Ramadhan juga terungkap jelas, dengan adanya para malaikat yang memohonkan ampunan kepada Allah bagi mereka yang berpuasa. Di samping aroma mulut orang yang berpuasa yang secara lahir mungkin tidak sedap di sisi Allah lebih wangi dibanding aroma kesturi.



2 - Berbagai Keutamaan Lain
Sebagai Muslim yang mengharap keutamaan dan ampunan, di mana dia juga tak lepas dari noda dan dosa, maka noda dan dosa itu dapat terkurangi bahkan terhapus lewat ibadah di bulan Ramadhan. Segala bentuk ragam ibadah di bulan ini harus semaksimal mungkin kita mefaatkan di antaranya:

1.  Memperbanyak Shadaqah

Imam Tirmidzi meriwayatkan:  Rasulullah (sallallaahu alayhi wa salam) pernah ditanya: "Sedekah apakah yang paling utama?" Beliau (sallallaahu alayhi wa salam) menjawab: "Seutama-utamanya sedekah adalah sedekah di bulan Ramadhan." [3]

Nabi (sallallaahu alayhi wa salam) adalah orang yang gemar bersedekah. Kegemarannya bersedekah, menjadi semakin meningkat di bulan Ramadhan.  Salah seorang sahabat telah berkata: "Sesungguhnya Rasulullah itu lebih pemurah, dibandingkan dengan angin yang berhembus. Dan terutama lagi di bulan Ramadhan." [4]

2.  Shalat malam berjama’ah

Dari Abu Dzar, bahwasanya beliau menuturkan:

"Dahulu ketika kami melakukan shaum/puasa, Rasulullah (sallallaahu alayhi wa salam) tidak pernah shalat (malam) berjama'ah bersama kami hingga bulan Ramadhan hanya tersisa tujuh hari lagi. Lalu beliau shalat bersama kami hingga akhir sepertiga malam pertama. Pada malam yang ke dua puluh enam, beliau tak lagi shalat bersama kami. Namun pada malam ke dua puluh lima (satu malam sebelumnya), beliau sempat shalat bersama hingga pertengahan malam. Lalu kami bertanya:  "Ya Rasulallah, apakah tidak engkau sisakan sebagian malam agar kami menambah shalat sendiri?"

Maka beliau bersabda: "Barangsiapa yang shalat (malam) bersama imam hingga selesai shalatnya, akan dituliskan baginya (pahala) shalat semalam untuknya." [5]

Hadits tersebut umumnya digunakan oleh para ulama untuk menetapkan disyari'atkannya shalat malam berjama'ah (tarawih) pada bulan Ramadhan. Namun hadits tersebut juga secara lebih khusus menyiratkan keutamaan shalat malam berjama'ah di bulan Ramadhan itu. Meskipun secara umum, juga berlaku untuk setiap shalat jama'ah, baik yang fardhu maupun yang mustahab.

Syaikh Nashiruddin al-Albani menegaskan:  Sabda beliau (sallallaahu alayhi wa salam)  : "Barangsiapa yang shalat (malam) bersama imam", itu jelas menunjukkan keutamaan shalat malam Ramadhan berjama'ah.

Hal itu dikuatkan, dengan riwayat dari imam Abu Dawud dalam "Al-Masail" hal. 62:

Saya pernah mendengar Imam Ahmad ditanya:  "Mana yang lebih menarik hatimu, orang yang shalat berjama'ah atau shalat sendiri?"  Beliau menjawab: "Tentu saja orang yang shalat berjama'ah."

Beliau juga pernah ditanya:  "Bagaimana kalau orang yang shalat sendiri itu mengakhirkan shalat hingga akhir malam (pada waktu yang paling utama)?" Beliau menanggapi: "Sunnah kaum Muslimin tetap lebih aku sukai." [6]

3.  Memperbanyak amalan akhirat

Bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, adalah ladang subur untuk menebarkan beragam amal shalih untuk dituai hasilnya di akhirat nanti. Dan mulai membaca al-Qur'an, memberi makan orang miskin atau memberinya sekedar makanan untuk berbuka puasa, berdoa, beristigfar, mempererat hubungan silaturrahmi dan lain-lain.

Banyak kaum Muslimin yang secara tradisi, memenuhi bulan suci ini dengan bekerja di luar kebiasaan; demi untuk merayakan 'Iedul fitri dengan mewah penuh kegemerlapan, bahkan terkesan dipaksa-paksakan; itu jelas merugikan.

Di ladang pahala, kita justru menanam amalan duniawi yang lebih banyak menghasilkan kesia-siaan. Padahal telah diingatkan dalam satu hadits mauquf (hanya sampai kepada sahabat) dari Hasan bin Ali:

"Apabila engkau mendapati seseorang melomba kamu dalam urusan dunia, maka lombalah dia dalam urusan akhirat." [7]

4.  Menjalankan umrah

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya bahwa Rasulullah (sallallaahu alayhi wa salam)  bersabda:

"Sesungguhnya ganjaran umrah di bulan Ramadhan, sama dengan ganjaran melaksanakan haji sekali atau bahkan haji bersamaku." [8]

Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim All Jarullah dalam "Majmu' Rasail Ramadhan iyyah" menyatakan:

"Namun yang perlu dipahami, bahwa umrah di bulan Ramadhan itu, meskipun ganjarannya sama dengan ibadah haji, namun ia tidak menggugurkan kewajiban haji itu sendiri bagi mereka yang mampu berkewajiban".

5.  Beribadah di malam Lailatul qadri

Para ulama menyatakan, bahwa malam itu disebut dengan Lailatul qadri (malam kemuliaan), karena kemuliaan dan keutamaannya. Bahkan dinyatakan, bahwa dimalam itu juga rizki dan ajal kematian para hamba untuk selama satu tahun ditentukan Allah. Sebagaimana difirmankan-Nya: "Pada malam itu dijelaskan, segala urusan yang penuh hikmat." (Ad-Dukhan: 4)

Banyak ayat yang menceritakan tentang keutamaannya yang tidak kami sebutkan di sini. Di malam itu juga pahala amal ibadah Allah lipatgandakan.

Nabi Bersabda:  "Barangsiapa yang beribadah di malam Lailatul qadri, dengan penuh keimanan dan perhitungan; akan diampuni segala dosa-dosanya yang terdahulu." [9]

Adapun waktu malam tersebut, banyak sekali diperselisihkan para ulama. Imam Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam "Fathul Bari", setelah menuturkan puluhan pendapat para ulama, berkata:

"Pendapat yang paling kuat, malam itu terdapat pada sepuluh malam terakhir.  Ia selalu berpindah, namun yang paling diharapkan dia akan muncul, pada malam-malam ganjil. Adapun tepatnya; menurut Syafi'iyyah pada malam ke 21 atau 23. Tapi menurut sebagian besar ulama pada malam ke 27."

Demikian juga pendapat syaikh al-Albani dalam "Qiyamul lail".  Para ulama sering mengungkapkan, bahwa hikmah tersembunyinya kepastian malam itu, adalah agar kaum Muslimin giat beribadah pada setiap malam bulan Ramadhan, Wallahu A'lam.

6.  I’tikaf

Lepas dari perselisihan di mesjid mana i'tikaf itu disyari'atkan, kaum Muslimin tetap harus mengakui kesepakatan para ulama bahwa i'tikaf di bulan Ramadhan, khususnya sepuluh hari terakhir, adalah keutamaan besar sekaligus sunnah yang tak pernah ditinggalkan Nabi (sallallaahu alayhi wa salam)  seumur hidupnya hingga beliau wafat.

Dari Abu Hurairah berkata:  "Nabi (sallallaahu alayhi wa salam) dahulu beri'tikaf setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun di mana beliau wafat, beliau beri'tikaf selama dua puluh hari." [10]

Karena ia merupakan sunnah yang selalu dilakukan Nabi (sallallaahu alayhi wa salam), maka kaum Muslimin pun harus merentang jalan demi melaksanakannya sedapat mungkin, di mesjid manapun i'tikaf itu dilakukan. Oleh sebab itu, para ulama yang memilih pendapat bahwa i'tikaf itu hanya di tiga mesjid utama (mesjid Al-Haram, An-Nabawi dan Al-Aqsha), mereka menjadikan dalil "dilarangnya melakukan perjalanan sulit kecuali ke tiga mesjid" untuk dibolehkannya mencapai mesjid itu dengan upaya keras, karena di sana disyari'atkannya i'tikaf, sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Ash-Shan'ani dalam "Subulu as-Salam".

Pendapat ke dua ini termasuk yang dipilih Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani Hafidzahullahu Ta'ala seperti beliau jelaskan dalam kitabnya "Qiyamu ar- Ramadhan".

Adapun bagi mereka yang berpendapat disyari'atkannya i'tikaf itu di setiap mesjid jami', merekapun harus berusaha menghidupkan kembali sunnah Nabi (sallallaahu alayhi wa salam) yang sudah lama ditinggalkan ini. [11]



3 - Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Menjalankan Puasa Ramadhan

Syaikh Abdullah bin Jarillah menyebutkan beberapa hal yang seyogyanya diperhatikan oleh orang yang berpuasa. Di sini kami nukil secara ringkas, dengan disertai sedikit tambahan dan takhrij ringkas beberapa haditsnya.

1. Mengenal hukum-hukum puasa

Banyak kaum Muslimin yang memasuki bulan puasa ini tanpa bekal ilmu tentang puasa sama sekali. Celakanya, mereka juga tak begitu merasa perlu untuk belajar. Padahal Allah Subhanahu Wa Ta'alaa berfirman:

"Bertanyalah kepada para ulama, kalau kamu sekalian tidak mengetahui." (An-Nahl: 43)

2. Ada kaum Muslimin menyambut puasa dengan hura-hura, dan bukan dengan banyak berdzikir, beristighfar dan mensyukuri nikmat Allah.

Klimaksnya, bulan yang penuh berkah ini tidaklah menggiring mereka untuk semakin bertakwa; tapi sebaliknya, semakin terbuai seribu satu kemaksiatan. Astaghfirullaah.

3.  Sebagian kaum Muslimin, memasuki bulan Ramadhan dengan gambaran lahir seperti orang-orang yang bertaubat. Mereka shalat, berpuasa dan meninggalkan banyak kemaksiatan yang biasa dilakukan.

Namun seusai bulan puasa, mereka kembali menjadi pecinta kemaksiatan. Seolah- olah, mereka hanya mengenal Allah di bulan nan suci ini. Atau mungkin mereka hanya memandang ibadah di bulan ini sebagai satu tradisi. Nabi (sallallaahu alayhi wa salam) bersabda:

"Barangsiapa yang beribadah hanya untuk didengar orang, maka Allah pun akan memberi ganjaran dengan sekedar (ibadah itu) didengar orang. Barangsiapa yang beribadah untuk sekedar dilihat orang, demikian juga Allah akan memberinya ganjaran." [12]

4.  Ada juga sebagian kaum Muslimin yang beranggapan bahwa bulan Ramadhan ini cocok dijadikan waktu untuk beristirahat, tidur-tiduran dan bermalas-malasan di siang hari, lalu begadang di malam hari. Bahkan seringkali, begadang malam itu dibumbui dengan hal-hal yang dapat mengundang kemurkaan Allah. Dengan permainan, mengobrol kesana kemari, berghibah, bahkan -kadang terjadi- berjudi, wal 'iyadzu billah.

5.  Selain itu, ada juga kaum Muslimin yang menyambut bulan ini dengan dingin dan tak bergairah.  Kalau sudah berlalu, ia akan kegirangan. Mereka beribadah dan berpuasa, semata-mata mengikuti kebiasaan manusia di sekitarnya.

Alangkah miripnya mereka dengan keadaan orang-orang munafik yang memang senang bermalas-malasan dalam ibadah. Allah Subhanahu Wa Ta'alaa berfirman:

"Sesungguhnya orang-orang munafik itu (berusaha) menipu Allah, tetapi Allah-lah yang akhirnya menipu mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk bershalat mereka berdiri dengan malas...." (An-Nisa: 142)

Rasulullah (sallallaahu alayhi wa salam) juga bersabda, yang artinya:

"Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat Isya dan Shubuh." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

6.  Banyak di antara mereka yang begadang malam untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, sampai-sampai meninggalkan subuh berjama'ah. Padahal Rasulullah (sallallaahu alayhi wa salam) bersabda:

"Tidak dibolehkah begadang itu melainkan bagi orang yang shalat (malam), atau musafir." [13]

7.  Sebagian di antara mereka menghindari diri dari berbagai pembatal puasa; seperti makan, minum, berjima' dan lain-lain. Tetapi mereka tak berusaha menghindari hal-hal yang dapat membatalkan pahala puasa; seperti bebas melihat aurat wanita di jalan-jalan (bahkan terkadang menjadi kebiasaan sehabis shubuh dan menjelang berbuka), atau di majalah-majalah, berghibah, mencaci-maki orang dan lain sebagainya.

8.  Suka berdusta

Ada sebagian kaum Muslimin yang menganggap ringan berkata dusta, termasuk di bulan suci Ramadhan, di kala berpuasa.

Padahal Rasulullah (sallallaahu alayhi wa salam) pernah bersabda:

"Barangsiapa yang tidak juga meninggalkan berkata-kata dusta dan masih juga melakukannya (di kala berpuasa), maka Allah tak sedikitpun sudi menerima ibadah puasanya, meski ia meninggalkan makan dan minum." [14]

9.  Satu hal yang aneh, namun benar-benar sering terjadi; seseorang berpuasa, tapi tidak shalat. Atau terkadang ada yang rajin shalat, tapi selalu beralasan tidak kuat berpuasa.  Padahal sungguh tidak ada manfaat orang itu berpuasa kalau dia tidak shalat. Karena shalat adalah pilar dien/agama Islam.

10.  Ada juga sebagian kaum elit di kalangam Muslimin yang sengaja bersafar terkadang keluar negeri agar mendapat keringanan untuk tidak berpuasa.  Padahal Allah Maha Mengetahui apa yang terbetik dalam hati hamba-Nya.

11.  Sebagian kaum Muslimin, ada yang berbuka puasa dengan mengkonsumsi sesuatu yang haram. Terkadang minuman keras, rokok (itu banyak terjadi), serta makanan dan minuman yang didapat dan usaha yang haram.  Selain itu, beliau juga menyebutkan beberapa hal lain yang layak diperhatikan.

Dan juga masih banyak lagi kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan sebagian kaum Muslimin dalam melakukan ibadah puasa.

Terkadang, bahkan merusak bingkai kerja dari puasa itu sendiri;  yaitu menahan diri dan makan dan minum. Bentuknya? Dengan mengumbar nafsu makan dan minum tatkala berbuka puasa. Ibnu Taimiyyah mengungkapkan penafsiran yang bagus tentang hadits nabi (sallallaahu alayhi wa salam): "Sesungguhnya setan itu mengalir dalam tubuh manusia mengikuti aliran darah." [15]

Beliau (sallallaahu alayhi wa salam) berkata:

"Orang yang puasa dilarang makan dan minum karena keduanya adalah sebab tubuh itu menjadi kuat. Dan makanan dan minum itulah yang dapat menghasilkan banyak darah, tempat di mina setan ikut berjalan mengaliri tubuh manusia. Sesungguhnya darah yang di telusupi setan itu memang berasal dan makanan dan minuman, bukan dan suntikan atau faktor keturunan." [16]



4 - Manfaat-Manfaat Ibadah Puasa

Syaikh Ali Hasan dalam "kitabu Ash-Shiyam" menuturkan beberapa faedah puasa berdasarkan keterangan dari beberapa hadits. Akan kami sebutkan di sini dengan ringkas:

1.  Puasa itu adalah perisai

Bagi mereka yang masih diamuk jiwa muda dan syahwat membara, namun masih belum terbuka pintu menuju pelaminan; disyari'atkan baginya untuk mengekang keinginan syahwatnya itu dengan berpuasa. Rasulullah (sallallaahu alayhi wa salam) bersabda, yang artinya:

"Wahai pemuda-pemudi, barangsiapa di antara kamu yang sudah memiliki kemampuan seksualitas, hendaknya ia menikah. Karena menikah itu lebih dapat memelihara pandangan dan kemaluan. Kalau ia belum mampu menikah, hendaknya ia berpuasa. Sesungguhnya puasa itu adalah obat penawar gejolak syahwat."

Lebih khusus lagi Rasulullah (sallallaahu alayhi wa salam) juga bersabda yang artinya:

"Puasa itu ibarat perisai, ia akan menamengi seorang samba dari siksa neraka." [17]

Nah khusus di bulan Ramadhan, sebulan penuh seorang Muslim akan diasah jiwanya dengan puasa sehingga bisa terbentengi dari sergapan setan yang selalu memperalat hawa nafsu untuk menjungkirkan seorang hamba ke jurang neraka. Tentu saja hal itu utama bagi mereka yang berkeinginan dengan puasanya untuk mencapai ketakwaan  kepada Allah.

2.  Puasa adalah jalan menuju Jannah

Dari Umamah berkata: "Wahai Rasulullah, tunjukkanlah aku satu amalan yang akan menggiringku menuju Jannah." Beliau bersabda: "Lakukan puasa,tak ada amalan yang setara dengannya." [18]

3.  Puasa dapat menjadi perantara turunnya syafa’at

Rasulullah (sallallaahu alayhi wa salam) bersabda, yang artinya:

"Puasa dan al-Qur'an akan memberi syafat kepada seorang hamba di hari kiamat nanti.  Sang puasa berkata: "Ya Allah, aku telah menghalanginya makan dan mengumbar nafsu, jadikanlah aku perantara untuk menyampaikan syafa'at-Mu kepadanya." [19]

4.  Dua saat kebahagiaan bagi orang yang berpuasa

Nabi (sallallaahu alayhi wa salam) bersabda:

"Orang yang berpuasa memiliki dua saat-saat penuh kebahagiaan: kala ia berbuka, dan, di saat ia menjumpai Rabb-nya (selepas hidup di dunia)." [20]

5.  Pintu Rayyan di Jannah (surga), bagi kaum yang berpuasa

Dari Sahal bin Sa'ad, dari Nabi (sallallaahu alayhi wa salam) bahwasanya beliau bersabda, yang artinya:

"Sesungguhnya di Jannah kelak, ada pintu yang bernama Rayyan. Dari situlah kaum yang berpuasa akan masuk Jannah di hari kiamat. Tak seorangpun kecuali mereka yang akan memasukinya. Bila orang terakhir di antara mereka telah masuk, pintu segera ditutup; dan barangsiapa (di antara yang masuk) meminum sedikit airnya, niscaya ia tak akan dahaga selamanya." [21]

Allah-lah Pencipta segala kebahagiaan, kepada-Nyalah kembali akhir kehidupan.

Selayaknya kita menyambut bulan yang penuh berkah dengan penuh gairah dan kegembiraan. Di sanalah, dan dari sanalah kita akan beranjak dengan taufik Sang Maha Rahman  menuju Jannah-Nya yang penuh kebahagiaan.



Abu Umar Basyir

Didownload dari http: //www.vbaitullah.or.id

[1] ) Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Zakat: 7576, 7712, 7713, 8015, 10464 dari hadits Abu Hurairah.

[2] ) HR. Muslim dalam kitab Ath-Thaharah: 342, 343, 344.

[3] ) HR.Tirmidzi kitab Zakat: 599, Baihaqi, Ibnu Khuzaimah dan lain-lain. Imam Tirmidzi berkata: "Hadits ini gharib."

[4] ) Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Asy-Syamail al-Muhammadiyah.

[5] ) Diriwayatkan oleh Abu Dawud 1/217, Tirmidzi 11/72-73 dan beliau berkomentar: Sanad hadits ini shahih. Juga oleh Nasai 1/238, Ibnu Majah 1/397 dan lain-lain.

[6] ) Shalat At-Tarawih, hal. 15 - Al-Maktab Al-lslami.

[7] ) Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ad-Dunya dalam kitab "Dzammu Ad-Dunya" No. 465 (lihat Al- ljabah Al-bahiyyah, Abdulllah bin Sa'dan - Dariil'Ashimah hal. 12).

[8] ) HR. Al-Bukhari IV/245

[9] ) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari/1910 dan Muslim/759 dan Tirmidzi (619) dalam kitab: Ash- Shaum.

[10] ) HR. Al-Bukhari IV/245.

[11] ) Di antara para ulama yang berpendapat seperti ini:

1. Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya 11/187;

2. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1V/319, cetakan Daru Ad-Diyan;

3. Al-Imam Al-Baghwi dalam Syarhu As-Sunnah VI/494 cetakan Al-Maktab al-Islami;

4. Al-Mawardi dalam "Al-Hawi Al-Kabrr" 111/485 cetakan Daru al-Kutub al-Ilmiyyah;

5. An-Nawawi dalam "Al-Majmu"' VI/483 cetakan Daru al-Fikr;

6. Ibnu Qasim Ar-Ra_'i dalam Fathul Aziz V1/484;

7. Ibnu Quddamah dalam "Al-Mughni" 1V/462 cetakan Hajar Kaira Mesir dan juga dalam 'Asy-Syarhu al-Kabir';

8. Ibnu Dhawiyyan dalam 'Manaru as-Sabil" 1/224 cetakan Daru al-Ma'arif;

9. Imam Syaukani dalam "Nailul Author" 1V/769 cetakan Daru al-Jiel Lebanon;

10. Sayyid Sabiq dalam Fiqhu as-Sunnah dan lain-lain.

[12] ) Dengan lafadz ini dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Ibnu Abbas (2986). Juga dari hadits Jundub dengan lafadz yang berbeda (6123). Al-Bukhari juga meriwayatkannya dalam kitab: Ar-Raqaiq (6134).

[13] ) Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (3421, 4023) dan Imam Suyuthi dalam Al-Jami' Ash-Shaghir, dan beliau mengisyaratkannya sebagai hadits hasan.

[14] ) HR. AI-Bukhari kitab: Ash-Shaum 1770, 5597 dengan lafadz:

Barangsiapa yang belum meninggalkan perkataan dusta, mengerjakannya dan masa bodoh dengannya...

[15] ) Diriwayatkan oleh Ahmad (12132, 13631), Al-Bukhari kitab A1-I'tikaf (1897), kitab: Bad'ul kholq (3039) dan kitab; Al-Adab (6761) dan Muslim kitab: As-Salam (4040) dari hadits Anas bin Malik dan Shafiyyah binti Huyay, juga oleh Abu Dawud kitab: Al-Adab (4243), At-Tirmidzi kitab: Ar-Radha' (1092) Ibnu Majah kitab: Ash-Shiyam (1769) dan ini lafadznya.

[16] ) Lihat Haqiqatu ash-shiyam - oleh Ibnu Taimiyyah.

[17] ) Diriwayatkan oleh Ahmad 111/241.

[18] ) Diriwayatkan oleh Nasa'i (1V/165), Ibnu Hibban (hal. 232 - Mauridu Adz-Dzam'an) dan Al-Hakim (1/421).

[19] ) Diriwayatkan oleh Ahmad: 6626, Al-Hakim: U 54 dan lain-lain dari hadits Abdullah bin Amru.

[20] ) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Ash-Shaum.

[21] ) Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (4/95), Muslim (1152). Sedikit tambahan dibagian akhir hadits berasal dari Shahih Khuzaimah (1903)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar