Sabtu, 09 Juni 2012

Perayaan Nisfu Sya’ban


Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Segala puji bagi Allah yang telah menyempurnakan agama ini bagi kita, dan telah menyempurnakan nikmat-Nya untuk kita. Shalawat serta salam semoga tercurah pada nabi dan rasul kita, Muhammad sallallaahu alayhi wa salam.

Allah berfirman:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3)

Allah juga berfirman:

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21)



Dalam shahih Bukhari dan Muslim, dari Aisyah radiyallaahu anha, dari Rasulullah sallallaahu alayhi wa salam, beliau bersabda:

“Barang siapa yang mengada-adakan suatu perkara dalam urusan (agama) kami, yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalannya tertolak”

Dan dalam shahih Muslim dari Jabir radiyallaahu anhu, bahwasanya Rasulullah sallallaahu alayhi wa salam bersabda pada khutbah Jum’at:

“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk nabi Muhammad n dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap perkara yang diada-adakan adalah sesat”

Dan masih banyak lagi ayat dan hadits yang semakna dalam masalah ini.

Dalil-dalil di atas menunjukkan dengan sangat gamblang bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya bagi umat ini, dan Dia tidak mewafatkan nabi Muhammad sallallaahu alayhi wa salam melainkan setelah tersampainya agama ini secara keseluruhan dan telah menjelaskan segala yang Allah syari’atkan baik berupa perkataan maupun perbuatan kepada umat ini. Rasulullah sallallaahu alayhi wa salam telah menjelaskan bahwa setiap perkara baru yang diada-adakan baik berupa perkataan maupun perbuatan, dan disandarkan pada Islam, maka perkara tersebut tertolak, walaupun disertai dengan niat yang baik.

Para shahabat dan ulama sesudahnya pun mengetahui perkara ini. Mereka juga mengingkari bid’ah dan mengingatkan umat ini agar berhati-hati terhadap perkara tersebut, sebagaimana yang disebutkan oleh setiap penulis yang membahas keagungan sunnah dan pengingkaran terhadap bid’ah.  Misalnya Ibn Waddhah, at-Thurthusy, Ibnu Syamah dan lainnya.

Diantara bid’ah yang kerap dilakukan di masyarakat adalah mengadakan perayaan malam Nisfu Sya’ban, serta mengkhususkan puasa pada hari tersebut.

Sementara tidak ada satupun dalil dalam hal ini yang dapat dipertanggungjawabkan keshahihannya. Hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan nisfu Sya’ban adalah hadits-hadits dhaif (lemah) yang tidak dapat dijadikan landasan dalam beramal. Begitu pula dalil-dalil tentang keutamaan shalat pada malam Nisfu Sya’ban adalah hadits-hadits palsu, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama, yang insyaaLlah nanti akan dinukilkan beberapa perkataan mereka.

Pendapat ulama ahlu Syam (Syiria sekarang, -pent) yang juga disepakati jumhur ulama’, mengatakan bahwa melakukan perayaan Nisfu Sya’ban adalah bid’ah, dan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah dhaif (lemah), bahkan sebagiannya palsu. Diantaranya adalah al Hafidz ibnu Rajab dalam kitabnya Lathaiful Ma’arif.  Hadits-hadits dhaif hanya boleh diamalkan dalam ibadah jika didukung dengan dalil shahih yang menguatkannya.  Sementara tidak ada satupun dalil shahih tentang perayaan malam Nisfu Sya’ban, sehingga hadits-hadits lemah tersebut tidak bisa diamalkan.

Al Imam Abul Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menjelaskan sebuah kaidah yang agung, yang disepakati oleh para ulama bahwa merupakan kewajiban untuk mengembalikan setiap apa yang diperselisihkan manusia kepada kitabullah (Al-Quran) dan sunnah rasul-Nya (Hadits).  Hukum apa saja yang dijelaskan pada keduanya atau salah satunya adalah merupakan ketentuan yang wajib diikuti, dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya harus dibuang jauh-jauh, dan ibadah yang tidak ada penjelasannya dalam kitabullah ataupun sunnah Nabi-Nya termasuk perkara bid’ah yang tidak boleh diamalkan terlebih untuk didakwahkan dan diajarkan.

Sebagaimana firman Allah dalam surat Annisa ayat 59:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Allah juga berfirman:

“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (QS.Asy Syuro: 10).

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” (QS. Ali Imron: 31).

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An Nisa: 65).

Masih banyak ayat-ayat yang semakna dalam hal ini. Ayat-ayat tersebut merupakan nash yang menjelaskan wajibnya mengembalikan setiap perkara yang diperselisihkan kepada Al-Qur’an dan sunnah nabi-Nya, serta ridha pada ketentuan hukum yang ditetapkan di dalam keduanya. Yang hal itu merupakan konsekuensi makna iman dan sebaik-baik bagi hamba, baik di dunia baik pula di akhirat. Makna " أحسن تأويلاً " dalam ayat diatas yaitu sebaik-baik akibat.

Dalam permasalahan ini, Al Hafidz Ibn Rajab v berkata dalam kitabnya Lathaiful Ma’arif -:  “Perayaan malam Nisfu Sya’ban berasal dari ahlu Syam, seperti Khalid Ibnu Ma’dan, Makhul, Luqman Bin ‘Amir, dan lainnya. Mereka mengagungkan hari tersebut dan bersungguh-sungguh dalam beribadah pada hari tersebut. Dari merekalah orang-orang mengambil keutamaan dan pengagungan malam Nisfu Sya’ban".

Ada pula yang mengatakan bahwa hal itu bersumber dari kisah-kisah Israiliyat.  Banyak ulama’ Hijaz (Arab Saudi sekarang -pent) yang mengingkarinya, diantaranya adalah Atha’ dan Ibnu Abi Mulaikah.  Abdurrahman  bin Zaid bin Aslam menukil dari para fuqaha’ ahlul Madinah, yang merupakan perkataan para sahabat imam Malik dan selainnya bahwa mereka berkata: “semua itu adalah perkara bid’ah, tidak ada perkataan imam Ahmad dalam masalah malam Nisfu Sya’ban,...” sampai pada perkataan beliau “tidak ada satu dalil pun dari Rasulullah ataupun para shahabatnya untuk menghidupkan malam Nisfu Sya’ban”.

Ibnu Rajab menjelaskan bahwa Rasulullah sallallaahu alayhi wa salam dan para shahabatnya tidak menetapkan suatu ibadah apapun pada malam Nisfu Sya’ban.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan syari’at,  yang tidak ada ketetapannya berdasarkan dalil syar’i, maka seorang muslim tidak boleh mengada-adakannya, baik hal itu dikerjakan sendiri ataupun berjama’ah, sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan, berdasarkan keumuman hadits nabi Muhammad sallallaahu alayhi wa salam: “barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak”, serta dalil-dalil lain yang menunjukkan pengingkaran terhadap bid’ah dan peringatan dari perbuatan tersebut.

Imam Abu Bakar al Thurthusy berkata di dalam kitabnya Al Hawadits Wal Bida’:  “Ibnu Wadhaah meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, bahwa dia berkata:  Kami tidak mengetahui satupun dari syaikh (guru) kami, ataupun dari para fuqaha’ kami yang menaruh perhatian terhadap perayaan Nisfu Sya’ban dan mereka juga mengacuhkan hadits Makhul. Mereka juga tidak melihat adanya keutamaan pada malam nisfu Sya’ban dibanding malam yang lain.”

Pernah dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah bahwa Ziyad an Numairi berkata: “Sesungguhnya pahala pada malam nisfu Sya’ban adalah menyamai pahala pada malam Lailatul Qadar”, maka beliau berkata: “Seandainya aku mendengar perkataannya dan di tanganku ada tongkat, niscaya aku akan memukulnya. Ziyad itu tukang mendongeng”.

As-Syaukani, menulis dalam kitabnya Al Fawaidul Majmu’ah, bahwa hadits yang berbunyi:

يَا عَلِيُّ مَنْ صَلَّى مِائَةَ رَكْعَةٍ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، وَ" قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ " عَشَرَ مَرَّاتٍ، إِلاَّ قَضَى اللهُ لَهُ كُلَّ حَاجَةٍ ... الخ

“Wahai Ali, barang siapa yang shalat pada malam Nisfu Sya’ban 100 rakaat, pada tiap rakaat membaca al Fatihah dan al Ikhlas 10 kali, niscaya Allah akan kabulkan setiap hajatnya...dst”

adalah hadits palsu, didustakan atas nama Nabi.  Para perawinya majhul (tidak dikenal, tidak diketahui ke-tsiqah-annya), hadits-hadits yang diriwayatkan dari jalan ke dua semuanya palsu, dan para perawinya majhul.

Dalam kitab Al-Mukhtashar, As-Syaukani menambahkan bahwa hadits tentang shalat pada malam Nisfu Sya’ban adalah batil, adapun hadits Ibnu Hibban dari hadits Ali radiyallaahu anhu: “Jika datang malam Nisfu Sya’ban maka shalatlah pada malamnya dan berpuasalah pada siangnya” adalah hadits dhaif.

Beliau juga berkata dalam kitab Al-La’aali, bahwa hadits yang berbunyi:

مِائَةُ رَكْعَةٍ فِيْ نِصْفِ شَعْبَانَ بِاْلإِخْلاَصِ عَشَرَ مَرَّاتٍ...

Shalat seratus rakaat pada malam Nisfu Sya’ban yang dikerjakan dengan ikhlas sebanyak sepuluh kali...dst

Hadits di atas adalah palsu, dan keseluruhan perawinya majhul (tidak dikenal) dan lemah. Beliau juga berkata: “hadits shalat sebanyak dua belas rakaat yang dikerjakan dengan ikhlas sebanyak tiga puluh kali adalah hadits palsu, demikian juga hadits tentang shalat empat belas rakaat.

Ada sebagian fuqaha yang terpedaya dengan hadits-hadits ini. Seperti penulis kitab Ihya dan lainnya, juga sebagian kalangan mufassirin. Shalat malam nisfu Sya’ban ini memang diriwayatkan dengan banyak jalan. Tapi semuanya batil dan palsu.

Al-Hafidz al-Iraqy berkata: “hadits shalat malam nisfu Sya’ban adalah hadits palsu yang didustakan atas nama Rasulullah sallallaahu alayhi wa salam.”

Dan Imam An Nawawi dalam kitab Al Majmu’ juga berkata: “Shalat yang dikenal dengan nama shalat Raghaib, yaitu shalat dua belas rakaat yang dilakukan antara shalat Maghrib dan Isya pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, dan shalat pada malam nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat, adalah bid’ah lagi mungkar.

Tidak boleh seseorang terkecoh dengan kedua shalat itu hanya karena disebutkan dalam kitab Quutul Qulub dan Ihya’ Ulumuddiin, ataupun terhadap hadits-hadits yang disebutkan pada dua kitab tersebut, karena semuanya batil.

Dan hendaknya janganlah mudah percaya kepada sebagian orang yang tidak paham lalu menyamarkan hukum keduanya. Kemudian mereka menulis makalah-makalah tentang disyariatkannya dua shalat tersebut. Karena hal itu adalah suatu kesalahan.”

Syaikhul Islam Imam Abu Muhammad Abdurrahman Bin Ismail Al Maqdisy menulis sebuah kitab yang sangat bagus yang membahas kebatilan kedua shalat tersebut dengan sangat baik. Perkataan para ahlul ilmi dalam permasalahan ini sangat banyak, yang jika kami nukil satu per satu perkataan mereka niscaya pembahasan ini akan menjadi panjang, maka semoga apa yang telah kami sebutkan sudah cukup bagi siapa saja yang menginginkan kebenaran.

Dari ayat-ayat, hadits-hadits serta perkataan para ahlul ilmi yang telah disampaikan diatas, cukup jelaslah bagi para pencari kebenaran bahwa perayaan malam nisfu Sya’ban atau malam lainnya dengan shalat tertentu, dan mengkhususkan siangnya dengan puasa tertentu adalah bid’ah lagi mungkar menurut sebagian besar ulama. Ia tidak memiliki landasan dalam syari’at yang suci ini. Akan tetapi hal tersebut termasuk jenis ibadah baru yang diada-adakan sesudah masa para shahabat g.

Cukuplah bagi para pencari kebenaran dalam perkara ini untuk  perpegang teguh pada firman Allah:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu” (QS. Al-Maidah: 3).

Dan ayat-ayat semakna lainnya.

Juga sabda nabi Muhammad sallallaahu alayhi wa salam :

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang mengada-adakan suatu perkara dalam urusan (agama) kami, yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalannya tertolak”

Serta hadits-hadits lain yang semakna.

Dan dalam shahih Muslim, dari Abu Hurairah radiyallaahu anhu berkata:

“Rasulullah sallallaahu alayhi wa salam bersabda: 'janganlah kalian mengkhususkan malam jum’at dari malam-malam yang lain dengan shalat, dan jangan pula kalian mengkhususkan siangnya untuk berpuasa, kecuali jika sebelum hari tersebut salah seorang diantara kalian telah berpuasa'”

Seandainya mengkhususkan satu malam diantara malam-malam yang lain dengan ibadah itu boleh, niscaya mengkhususkan malam Jum’at itu lebih utama dari malam yang lain, karena hari tersebut adalah sebaik-baik hari, berdasarkan nash dari hadits-hadits shahih dari Rasulullah sallallaahu alayhi wa salam.

Tatkala Rasulullah sallallaahu alayhi wa salam memperingatkan agar tidak mengkhususkan malam Jum’at dari malam-malam yang lain dengan ibadah, maka hal itu menunjukkan bahwa malam-malam yang lain lebih tidak boleh lagi untuk dikhususkan dengan ibadah. Kecuali jika ada dalil shahih yang menunjukkan pengkhususannya.

Ketika pada malam lailatul qadar dan malam-malam bulan Ramadhan disyari’atkan untuk memperbanyak shalat dan bersungguh-sungguh untuk beribadah, Nabi menekankan dan menganjurkan umatnya untuk mengerjakannya, serta beliau sendiri mencontohkannya dengan ibadah yang beliau kerjakan. Ini sebagaimana termaktub dalam shahih Bukhari dan Muslim, bahwasanya beliau bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barang siapa yang mengerjakan shalat malam Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala maka Allah akan ampuni dosa-dosanya yang terdahulu.

Dan hadits:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barang siapa yang mengerjakan shalat pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka Allah akan ampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Maka seandainya pada malam Nisfu Sya’ban atau malam Jum’at pertama dari bulan Rajab atau malam Isra’ Mi’raj disyari’atkan pengkhususannya dengan perayaan atau bentuk ibadah-ibadah yang lain, niscaya Rasulullah telah menyampaikannya kepada umatnya atau Beliau sendiri melaksanakannya. Lalu para shahabat akan menukilkan hal tersebut kepada umat ini dan tidak akan menyembunyikannya. Karena mereka adalah sebaik-baik umat dan sebaik-baik pemberi nasehat setelah para nabi.

Dari perkataan para ulama’ tadi, dapat disimpulkan bahwa tidak ada ketetapan apapun dari Rasulullah sallallaahu alayhi wa salam ataupun dari para shahabat tentang keutamaan malam Jum’at pertama dari bulan Rajab dan malam Nisfu Sya’ban. Sehingga dari situ diketahui bahwa perayaan pada dua waktu tersebut adalah perkara bid’ah yang diada-adakan dalam Islam, demikian juga mengkhususkan dua waktu tersebut dengan ibadah-ibadah adalah bid’ah yang mungkar.

Demikian halnya dengan malam ke-27 dari bulan Rajab yang diyakini sebagian orang sebagai malam Isra’ Mi’raj. Tidak boleh mengkhususkan waktu tersebut dengan ibadah tertentu sebagaimana tidak bolehnya melakukan perayaan pada waktu tersebut berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan diatas. Bagaimana mungkin perkara (melakukan perayaan pada malam-malam tersebut) dikenal sebagai ajaran Islam, sementara para ulama telah mengatakan bahwa perkara tersebut tidak dikenal dalam ajaran Islam?! Dan perkataan orang-orang bahwa malam Isra’ Mi’raj jatuh pada malam 27 Rajab  adalah perkataan yang batil, tidak ada dasarnya dalam hadits-hadits yang shahih.

Benarlah orang yang mengatakan, “sebaik-baik perkara adalah (perkara) yang telah dilaksanakan orang-orang terdahulu yang berada diatas petunjuk, dan sejelek-jelek perkara dalam Islam adalah perkara bid’ah yang diada-adakan”

Kami memohon kepada Allah agar memberi taufiq kepada kami dan kepada seluruh kaum muslimin agar berpegang teguh pada sunnah dan berpijak kokoh diatasnya, waspada dari hal-hal yang menyelisihinya, sesungguhnya Allah adalah Maha Baik dan Maha Pemurah.

Dan shalawat semoga senantiasa tercurah kepada hamba-Nya dan rasul-Nya, nabi kami Muhammad SAW, keluarnya dan para shahabatnya.

sumber : http://indonesian.iloveallaah.com/perayaan-nisfu-sya%E2%80%99ban/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar