Kamis, 07 Juni 2012

TIDAK ADA DO’A TERPIMPIN (BERIMAM) SESUDAH SHALAT BERJAMA’AH.


11.TIDAK ADA DO’A TERPIMPIN (BERIMAM) SESUDAH SHALAT BERJAMA’AH.

Karena kurangnya ilmu pengetahuan orang yang akan memimpin semua amal yang dikerjakan pada umumnya, amal ibadah shalat khususnya, maka banyak sekali praktek shalat itu yang tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW.

Kembali kepada judul diatas dengan melontarkan pertanyaan, apakah berdo’a terpimpin, dengan mengaminkan do’a orang ? Maka jawabnya ialah tidak ada perintah dari Allah dan Rasul-Nya bahwa berdo’a itu terpimpin atau pakai imam, hanya yang disuruh beriman ketika hendak mendirikan shalat berjama’ah.

Oleh sebab itu, ulama-ulama mutaakhirin mempunyai beberapa pendapat dalam hal ini :
a. Imam dan Makmun disukai berdo’a secara bersama-sama sesudah shalat Subuh dan shalat Ashar saja. Ulama yang menyukainya adalah pengikut Abu Hanifah, Malik dan Ahmad.
b. Imam dan Makmum disukai berdoa bersama-sama tiap shalat, tidak dengan terus-menerus, hanya sekal-kali saja yaitu apabila bermaksud Imam mengajarkan do’a itu kepada Makmum. Ulama yang menyukai ini adalah segolongan dari pengikut Asy-Syafi’i.
c. Imam Ibnul Qayyim dalam kitab ZADUL MA’AD, halaman 93 berkata : Imam berdo’a sesudah memberi salam sambil menghadap kiblat, atau menghadap makmum, tidak pernah dikerjakan Nabi SAW yang senantiasa bertindak sebagai imam, dan tidak ada pula suatu riwayat yang menyuruh untuk mengerjakan yang demikian itu, juga tidak ada diriwayatkan dari Nabi SAW, bahwasanya beliau ada mengerjakan yang sedemikan itu sesudah shalat Subuh dan shalat Ashar.

Al-Ustadz’ Ali Mahfuzh dalam kitabnya : AL-IBDA’FII MADLAARIL IBTIDAA’ (Bahaya-bahay Bid’ah) halaman 272-273, menjelaskan : ‘Nabi SAW tidak pernah duduk sambil menghadap makmum untuk mebaca do’a sesudah shalat dengan suara yang keras serta terus menerus melakukan yang demikian’.

Lantaran itu, orang-orang yang awam dapat menyangka bahwa begitulah seharusnya mengkhatam (menyudahi) shalat, padahal yang disukai ialah berdoa secara sendiri-sendiri.
Allah berfirman :
“ Serulah Tuhan kamu (berdoalah) dengan merendahkan diri dan cara tersembunyi, karena sesungguhnya Tuhan tidak suka dengan orang yang melampaui batas”.      (Q.S.Al-A’raaf : 55).

Dari penjelasan Ibnul Qayyim diatas, Allah dan RasulNya menyuruh kita supaya memperbanyak do’a, biarkan mereka (makmum) berdo’a masing-masingnya dan kita berdo’a pula, karena do’a itu adalah bisikan hati nurani. Tetapi kalau orang yang mendo’a itu ada yang membaca Amiin boleh kita mengaminkannya kalau kita hendak mengaminkan juga, karena mengingat sabda Rasulullah SAW berbunyi :“Apabila berta’min (membaca amin) si pembaca, maka aminkanlah olehmu”. (H.R.Muslim).

Menurut Zhahir sebagian hadits, para makmum membaca amin ketika imam mulai membacanya setelah selesai membaca: “WALADLDLALLIN”.
Jumhur ulama mengumpulkan dua riwayat itu dengan jalan menetapkan, bahwa yang dikehendaki dengan perkataan “Apabila imam telah berta’min” ialah apabila imam telah berkehendak akan membaca amin, supaya bersama-sama membacanya.
Dan ada juga yang menetapkan bahwa makmum membacanya sesudah imam selesai membacanya, berdasarkan kepada zhahir riwayat yaitu : IDZA AMMANAL QARI’ FAAMINU”.( Apabila imam membaca amin maka bacalah olehmu amin).
Dalam hal ini penulis mengikuti pendapat Jumhur.

12.HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN SEPUTAR ZIKIR DAN DO’A.

Dalam rangkaian zikir dan do’a yang telah dijelaskan diatas, usahakanlah zikir dan do’a tersebut terhindar dari perbuatan bid’ah dan cara-cara yang tidak pernah diperbuat Rasulullah SAW. Untuk itu perhatikanlah beberapa penegasan yang dikemukakan oleh beberapa Ulama kenamaan antara lain sbb :

a. Syeikh Ali Mahfuzh, guru besar dari Universitas Azhar Cairo, pembangunan Qismul wa’zhi wal khathaabah dari Universitas tersebut pada tahun 1918. Dan termasuk salah seorang anggota ulama besar di Mesir, menjelaskan dalam kitabnya : AL-IBDAA’ FII MADIAARIL IBTIDAA’ hal 283 sbb :                                                                                “ Diantara bid’ah yang dibenci (makruuhah), ialah menutup shalat dengan cara yang terkenal yakni duduk berkumpul di masjid membaca do’a dengan suara keras dan tetap melakukan demikian, sehingga orang awam (orang banyak ) meyakini begitulah harus mengakhiri shalat, dan sesungguhnya begitulah sunnahnya, padahal do’a itu disukai membaca sendiri-sendiri dengan cara sir. Maka cara berdo’a dengan berkumpul ramai-ramai dengan suara keras adalah Bid’ah, tidak pernah dibiasakan Rasulullah SAW dan tidak juga dari para sahabat”.
b. Imam Amir Ash-Shan’aaniy didalam kitabnya : SUBULUS SALAM juzu I hal : 196 menjelaskan : :                                                                                                                         “ Adapun membaca Al-Fatihah dengan niat begini begitu seperti yang diperbuat orang sekarang tidak ada dalilnya sama sekali, bahkan adalah perbuatan yang Bid’ah. Imam berdoa menghadap kiblat dan membelakangi makmum juga tidak ada sunnahnya (dari Rasulullah SAW ) tetapi yang sunnah hendaklah imam menghadap makmum kalau sudah selesai dari shalat dan memberi salam”.

Kedua penjelasan tersebut didasarkan pada :

1.Firman Allah SWT :
“ Berdoalah kepada Tuhan kamu dengan merendahkan diri dan cara tersembunyi, karena sesungguhnya Tuhan tidak suka melampaui batas”.(Q.S.Al-A’raaf :55)
Dalam tafsir Al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah SWT tidak suka kepada orang yang melewati batas dengan berdo’a dengan suara keras.

2.Firman Allah SWT :
“ Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri (tadlarru’/khusyu’) dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara  diwaktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”.(Q.S.Al-A’raaf :205).

3. Hadits Nabi SAW yang berasal dari Abi Musa Al-Asy’ari, katanya :
“ Ada orang-orang yang mengeraskan suaranya dalam berdo’a maka bersabda Rasulullah SAW : Wahai manusia Tahanlah dirimu, sesungguhnya kamu tidak menyeru memanggil orang yang tuli dan bukan orang yang jauh. Tetapi orang yang kamu seru adalah Maha Mendengar dan Maha Dekat, lebih dekat kepada kamu dari leher kendaraannya”.(Muttafaq’ Alaihi).

Dari penjelasan-penjelasan tersebut diatas dapat pula disimpulkan bahwa :
“ Lafazh zikir dan do’a yang jelas ma’tsur dari Rasulullah SAW tidak usah ditambah-tambah lagi dengan lafazh lainnya, walaupun menurut anggapan dan maknanya adalah baik. Dzikir dan do’a menurut sunnah Rasul, dilakukan oleh masing-masing orang yang mendirikan shalat itu, baik ia imam ataupun makmum atau orang yang shalat sendirian dengan suara pelan (sir), tidak dijaharkan suara, sebagaimana dikehendaki oleh makna ayat-ayat dan hadist-hadist yang berkenaan dengan zikir dan do’a”.

[ Disalin dari buku berjudul “Cara Shalat Rasulullah s.a.w.”, karangan Ust.Drs.H.Tamar Noer, penerbit CV.Sa’adiyah Putra Jakarta, halaman 234 s.d.238].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar